TINDAK
PIDANA PENCUCIAN UANG
(MONEY
LAUNDERING)
Advocate
& Legal
Consultant Teuku barrun.,
SH
Money laundering sebagai
salah satu jenis kejahatan kerah putih (white collar crime) yang
sebenarnya sudah ada sejak tahun 1967. Pada saat itu, seorang perompak di laut,
Henry Every, dalam perompakannya terakhir merompak kapal Portugis berupa berlian
senilai £325.000 poundsterling (setara Rp 5.671.250.000). Harta rampokan
tersebut kemudian dibagi bersama anak buahnya, dan bagian Henry Every
ditanamkan pada transaksi perdagangan berlian dimana ternyata perusahaan
berlian tersebut juga merupakan perusahaan pencucian uang milik perompak lain
di darat.
Namun istilah money
laundering baru muncul ketika Al Capone, salah satu mafia besar di Amerika
Serikat, pada tahun 1920-an, memulai bisnis Laundromats (tempat cuci
otomatis). Bisnis ini dipilih karena menggunakan
uang tunai yang
mempercepat proses pencucian uang agar uang yang mereka peroleh dari hasil
pemerasan, pelacuran, perjudian, dan penyelundupan minuman keras terlihat
sebagai uang yang halal. Walau demikian, Al Capone tidak dituntut dan dihukum
dengan pidana penjara atas kejahatan tersebut, akan tetapi lebih karena telah
melakukan penggelapan pajak. Selain Al Capone, terdapat juga Meyer Lansky,
mafia yang menghasilkan uang dari kegiatan perjudian dan menutupi bisnis
ilegalnya itu dengan mendirikan bisnis hotel, lapangan golf dan perusahaan
pengemasan daging. Uang hasil bisnis illegal ini dikirimkan ke beberapa
bank-bank di Swiss yang sangat mengutamakan kerahasian nasabah, untuk didepositokan.
Deposito ini kemudian diagunkan untuk mendapatkan
pinjaman yang
dipergunakan untuk membangun bisnis legalnya. Berbeda
dengan Al Capone,
Meyer Lansky justru terbebas dari tuntutan melakukan
penggelapan pajak,
tindak pidana termasuk tindak pidana pencucian uang
yang
dilakukannya.
Sebelum tahun 1986,
tindakan pencucian uang bukan merupakan kejahatan. Pada tahun 1980-an, jutaan
uang hasil tindak kejahatan masuk dalam bisnis legal dan usaha-usaha ekonomi lain.
Bahkan praktek money laundering tidak lagi sesederhana yang dilakukan Al
Capone atau Meyer Lansky. Contohnya adalah pengakuan dari seorang mafia obat
bius, Franklin Jurador yang menceritakan pemindahtanganan uang hasil kejahatan
ke bisnis legal dilakukan dalam berbagai transaksi antara lain jual beli fiktif
asset atau penitipan fiktif untuk keperluan investasi, yang melibatkan lebih banyak
pihak, tidak hanya secara domestik namun juga antar negara, dengan transaksi
yang lebih rumit. Bahkan berkembangnya transaksi money laundering juga
didukung fasilitas financial dunia perbankan, seperti layanan nomor rekening
istimewa atau nostro account yang diberikan bank-bank Swiss sejak tahun
1930-an. Layanan ini mengidentifikasi nasabah dengan nomor sandi yang digunakan
untuk transaksi sehingga bank tidakmengetahui siapa nasabah dan pihak yang
menjadi lawan transaksi.
Beberapa bank di
kawasan lepas pantai juga menyediakan fasilitas transfer uang antar negara,
manajemen pengelolaan dana dan perlindungan asset yang mempermudah kegiatan
pencucian uang. Perkembangan kejahatan kerah putih ini menimbulkan kekhawatiran
internasional sebab dikhawatirkan dapat mengganggu stabilitas perekonomian
karena perputaran dana dalam jumlah besar yang terjadi secara cepat dari satu tempat
ke tempat lain bahkan dari satu atau lebih negara ke satu atau lebih negara
lain. Untuk itu maka masalah money laundering mulai menjadi perhatian
dan dibentuk beberapa peraturan perundang-undangan baik yang bersifat
internasional maupun nasional :
a.
Amerika Serikat :
Memiliki berbagai macam peraturan
perundang-undangan seperti The Bank Secrecy Act (1970), Money
Laundering Central Act. (1986), The Annunzio Wylie Act. dan Money
Laundering Suppression Act. (1994). Dalam Bank Secrecy Act, terdapat
kewajiban lembaga keuangan untuk melaporkan setiap transaksi alat pembayaran
yang melebihi $10,000 kepada Internal Revenue Service yang dikenal
dengan nama Currency Transaction Report (CTR).
Termasuk juga di
dalamnya Foreign Transactions Reporting Act yang memperbesar jumlah
informasi keuangan yang harus disampaikan kepada instansi-instansi pemerintah
yang bersangkutan dengan tindakan pidana, perpajakan dan penuntutan. Setelahnya
dalam Money Laundering Central Act (MLCA) diatur adanya unsur yang harus
dipenuhi untuk mengkategorikan tindak pidana pencucian uang yakni :
(1) terdapat
transaksi finansial atau perpindahan internasional; dan
(2) terdapat kegiatan
melanggar hukum tertentu.
b.
Swiss, Thailand, Spanyol, Italia, Inggris, Jerman dan Perancis
Swiss memiliki The Money Laundering
Act (1998), Thailand memiliki The Money Laundering Prevention and
Suppresion Act (1999), Spanyol memiliki The Money Laundering Law (1993),
sementara untuk negara Italia, Inggris, Jerman dan Perancis memiliki Penal
Code yang mengatur ketentuan anti money laundering.
c.
Indonesia
Pada tahun 1988, United Nations
Convention Against Illicit Traffic in Narcotic Drugs and Psychotropic
Substances atau lebih dikenal UN Drugs Convention ditandatangani 106
negara, dan Indonesia menjadi salah satu negara anggota yang kemudian baru
meratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 1997 tentang Pengesahan Konvensi
Perserikatan Bangsa-Bangsa tentang Pemberantasan Peredaran Gelap Narkotika dan
Psikotropika. Selanjutnya pada tahun 1989 dan 1990 negara-negara yang tergabung
dalam Group 7 melahirkan The Financial Action Task Force on Money Laundering
(FATF) yang bertujuan mendorong Negara-negara agar menyusun peraturan
perundang-undangan untuk mencegah mengalirnya uang hasil perdagangan narkotik
baik melalui bank maupun lembaga keuangan bukan bank. Pada bulan April 1990,
FATF memperluas pesertanya mencakup pusat keuangan 15 negara yang kemudian
mengeluarkan rekomendasi yang paralel dengan UN Drug Convention agar
Negara-negara menciptakan peraturan perundang-undangan mengawasi money
laundering.
Upaya pemberantasan peredaran gelap
obat bius ini diikuti dengan upaya pemberantasan pencucian uang dalam skala
internasional karena kegiatan pencucian uang kerap kali digunakan untuk menutupi
hasil perdagangan obat bius yang diwujudkan dalam pembentukan konvensi The
International Anti-Money Laundering Legal Regime. Konvensi ini mewajibkan
negaranegara penandatangan menjadikan pencucian uang sebagai suatu tindakan kriminal
dan tergolong kejahatan berat. Selanjutnya pada tahun 1998 dibentuk Basle
Committee on Banking Regulations dan Supervisory Practices yang
terdiri dari perwakilanperwakilan Bank Sentral dan badan-badan pengawas
negara-negara industri, dimana bank harus mengambil langkah-langkah yang masuk
akal untuk menetapkan identitas nasabahnya yang dikenal dengan Know
Your-Customer Rule. Indonesia kemudian mengeluarkan Peraturan Bank
Indonesia Nomor: 3/10/PBI/2001 tentang Penerapan Prinsip Mengenal Nasabah yang
telah diubah kedua kali dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 5/21/PBI/2003. Walaupun
secara de jure BI telah mengeluarkan peraturan BI No. 3/10/PBI/2001
tanggal 18 Juni 2001 tentang Penerapan Prinsip Pengenalan Nasabah namun
peraturan ini sulit diterapkan untuk memberantas transaksi money laundering.
Penerapan ini dibatasi oleh UU No. 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU No.
7 Tahun 1992 tentang Perbankan dimana Bank wajib merahasiakan keterangan
mengenai nasabah penyimpan dan simpanannya kecuali untuk kepentingan
perpajakan, untuk penyelesaian piutang bank yang sudah diserahkan kepada Badan
Urusan Piutang dan Lelang Negara/Panitia Urusan Piutang Negara, untuk
kepentingan peradilan dalam perkara pidana, atas permintaan, persetujuan atau
kuasa dari nasabah penyimpan yang dibuat secara tertulis, atau dalam hal si
nasabah meninggal dunia sehingga ahli waris yang sah wajib diberitahukan
mengenai simpanan nasabah yang bersangkutan. Akan tetapi, penerbitan Peraturan
Bank Indonesia ini belum dianggap cukup oleh FATF untuk menanggulangi pencucian
uang.
FATF sendiri sudah mengeluarkan
beberapa rekomendasi yang berkaitan dengan praktek pencucian uang. Rekomendasi
tersebut mempunyai tiga ruang lingkup yaitu mengenai peningkatan sistem hukum
nasional, peningkatan peranan system finansial, dan memperkuat kerjasama
internasional. Semua rekomendasi FATF ini menjadi standar internasional untuk
mengukur apakah anggota FATF telah mematuhi rekomendasi itu dan memberikan
usulan-usulan untuk perbaikan upaya pemberantasan pencucian uang, dan Indonesia
dipandang belum mendukung upaya pemberantasan pencucian uang. Indonesia dimasukkan
dalam daftar Negara wilayah yang tidak bekerjasama Non Cooperative Countries
and Teritories (NCCTs) pada bulan Juni 2001 oleh Organization for
Economic Cooperation and Development (OECD) dari FATF, dan hal ini
berlangsung sampai dengan Februari 2002 mengingat FATF menganggap kurang ada
upaya Indonesia dalam memerangi pencucian uang, yang dibuktikan dengan belum
adanya program penegakan hokum pencucian yang efektif, belum ada tindakan hukum
terhadap para pelaku kejahatan money laundering, belum adanya
peningkatan kerja dalam lembaga keuangan untuk memerangi praktek money
laundering, belum adanya sistem yang mewajibkan pelaporan transaksi
keuangan yang mencurigakan, belum adanya kerja sama dengan Negara-negara lain, institusi-institusi
internasional atau belum adanya identifikasi nasabah dan belum ada perangkat
hukum untuk mengatasi praktek money laundering yang dibuktikan dengan
belum adanya Undang-Undang Anti Pencucian Uang. Baru pada Februari 2005,
Indonesia dikeluarkan dari daftar hitam setelah FTAF mengadakan review langsung
ke Indonesia dengan mengadakan wawancara dengan para pemimpin instansi yang
menangani money laundering, kemudian Presiden mengutus beberapa Menteri
ke Negara Amerika, Inggris, Perancis, Australia, Jepang untuk menjelaskan
keseriusan Pemerintah Indonesia menangani kasus money laundering.
Pada tanggal 17 April 2002 telah
diundangkan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang melalui
Lembaran Negara No. 30. UU ini tidak mendefinisikan apa yang dimaksud dengan
pencucian uang, hanya dalam penjelasan dinyatakan bahwa upaya untuk
menyembunyikan atau menyamarkan asal usul harta kekayaan yang diperoleh dari
tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam undang-undang ini dikenal sebagai
pencucian uang (money laundering). Tindak pidana tersebut adalah tindak
pidana sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 Undang-Undang ini yakni harta kekayaan
yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah) atau lebih atau nilai
setara yang diperoleh secara langsung atau tidak langsung dari kejahatan
korupsi; penyuapan; penyeludupan barang; penyeludupan tenaga kerja;
penyeludupan imigran; perbankan; narkotika; psikotropika; perdagangan budak,
wanita, dan anak; perdagangan senjata gelap; penculikan; terorisme; pencurian;
penggelapan; penipuan, yang dilakukan baik di wilayah RI atau di luar wilayah
RI dan kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia. Berbeda
dengan UU No. 15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang, perubahan UU
ini yang diatur dalam UU No. 25 Tahun 2003 tentang Perubahan Atas UU No. 15
Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang memberikan definisi tentang pencucian
uang mendefinisikan pencucian uang sebagai perbuatan menempatkan,
mentransfer, membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan,
menitipkan, membawa keluar negeri, menukarkan atau perbuatan lainnya atas harta
kekayaan yang diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana
dengan maksud untuk menyembunyikan, atau menyamar asal usul harta kekayaan
sehingga seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah (Pasal 1 angka 1).
Perubahan dalam UU No. 25 Tahun 2003
antara lain meliputi :
a.)
pengertian Penyedia Jasa Keuangan yang diperluas meliputi jasa lainnya yang
terkait dengan keuangan guna mengantisipasi pelaku tindak pidana pencucian uang
yang memanfaatkan bentuk penyedia jasa keuangan yang ada di masyarakat namun
belum diwajibkan menyampaikan laporan transaksi keuangan dan munculnya bentuk
penyedia jasa keuangan baru.
Hal
ini tampak dari ketentuan Pasal 1 angka
4 UU No. 15 Tahun 2002 :
Penyedia Jasa
Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan termasuk
tetapi tidak terbatas pada bank, lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola
reksa dana, kustodian, wali amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang
valuta asing, dana pensiun, dan perusahaan asuransi, yang
kemudian diubah menjadi Pasal 1 angka 5
UU No. 25 Tahun 2003 :
Penyedia Jasa
Keuangan adalah setiap orang yang menyediakan jasa di bidang keuangan atau jasa
lainnya yang terkait dengan keuangan termasuk tetapi tidak terbatas pada bank,
lembaga pembiayaan, perusahaan efek, pengelola reksa dana, custodian, wali
amanat, lembaga penyimpanan dan penyelesaian, pedagang valuta asing, dana pensiun,
perusahaan asuransi, dan kantor pos.
b.)
perluasan definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan, yakni :
Pasal
1 angka 6 UU No. 15 Tahun 2002 :
Transaksi Keuangan Mencurigakan
adalah transaksi yang menyimpang dari profil dan karakteristik serta kebiasaan
pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan, termasuk transaksi keuangan oleh
nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari pelaporan
transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa Keuangan
sesuai dengan ketentuan Undang-undang ini, menjadi Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003 :
Transaksi Keuangan
Mencurigakan adalah:
a.
transaksi keuangan yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan
pola transaksi dari nasabah yang bersangkutan;
b.
transaksi keuangan oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk
menghindari pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh
Penyedia Jasa Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c.
transaksi keuangan yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta
Kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana.
c.
Pembatasan jumlah hasil tindak pidana yang diperoleh dari tindak pidana dihapus
karena penentuan suatu perbuatan dapat dipidana tidak
bergantung besar
kecilnya hasil tindak pidana yang diperoleh, sebagaimana diatur berdasarkan :
Pasal
2 UU No. 15 Tahun 2002 :
Hasil tindak pidana
adalah Harta Kekayaan yang berjumlah Rp500.000.000,00 (lima ratus juta rupiah)
atau lebih atau nilai yang setara, yang diperoleh secara langsung atau tidak
langsung dari kejahatan:
a. korupsi;
b. penyuapan;
c. penyelundupan
barang;
d. penyelundupan
tenaga kerja;
e. penyeludupan
imigran;
f. perbankan;
g. narkotika;
h. psikotropika;
i. perdagangan budak,
wanita, dan anak;
j. perdagangan
senjata gelap;
k. penculikan;
l. terorisme;
m. pencurian;
n. penggelapan;
o. penipuan;
yang dilakukan di wilayah
Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Republik Indonesia dan
kejahatan tersebut merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia, menjadi
Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003, yakni
:
(1) Hasil
tindak pidana adalah Harta Kekayaan yang diperoleh dari tindak pidana :
a. korupsi;
b.
penyuapan;
c. penyelundupan
barang;
d. penyelundupan
tenaga kerja;
e. penyelundupan
imigran;
f. di bidang
perbankan;
g. di bidang pasar
modal;
h. di bidang
asuransi;
i. narkotika;
j. psikotropika;
k. perdagangan manusia;
l. perdagangan
senjata gelap;
m. penculikan;
n. terorisme;
o. pencurian;
p. penggelapan;
q. penipuan;
r. pemalsuan uang;
s. perjudian;
t. prostitusi;
u. di bidang
perpajakan;
v. di bidang
kehutanan;
w. di bidang
lingkungan hidup;
x. di bidang kelautan;
atau
y. tindak pidana
lainnya yang diancam dengan pidana penjara 4(empat) tahun atau lebih, yang
dilakukan di wilayah Negara Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara
Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana
menurut hukum Indonesia.
(2) Harta
Kekayaan yang dipergunakan secara langsung atau tidak langsung untuk kegiatana
terorisme dipersamakan sebagai hasil tindak pidana sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) huruf n.
d.
Ruang lingkup tindak pidana asal (predicate crime) diperluas untuk mencegah
berkembangnya tindak pidana yang menghasilkan harta kekayaan dimana pelaku
tindak pidana berupaya menyembunyikan atau menyamarkan asal-usul hasil tindak
pidana namun perbuatan tersebut tidak dipidana. Berbagai peraturan
perundang-undangan yang terkait yang mempidana tindak pidana asal antara lain:
-
UU No. 5 Tahun 1997 tentang Psikotropika;
- UU No. 22 Tahun 1997 tentang Narkotika;
- UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas UU
No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi;
- UU No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana
Korupsi.
e.
Jangka
waktupenyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakandipersingkat,
dengan tujuan agar harta kekayaan yang diduga berasal dari hasil tindak pidana
dan pelaku tindak pidana pencucian uang dapat segera dilacak, sebagaimana
diatur berdasarkan :
Pasal 13 UU No. 15 Tahun 2002 :
(2) Penyampaian
Laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1)
huruf a dilakukan paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah diketahui
oleh Penyedia Jasa Keuangan, menjadi:
Pasal 13 UU No. 25 Tahun 2003 :
(2) Penyampaian laporan Transaksi
Keuangan Mencurigakan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a dilakukan
paling lambat 3 (tiga) hari kerja setelah Penyedia Jasa Keuangan mengetahui
adanya unsure Transaksi Keuangan Mencurigakan.
f. Terdapat ketentuan baru yang
menjamin adanya kerahasiaan
penyusunan
dan penyampaian laporan Transaksi Keuangan Mencurigakan yang disampaikan kepada
PPATK atau penyidik (anti-tipping off) bahkan dengan disertai sanksi
pidana penjara, dengan tujuan untuk mencegah berpindahnya hasil tindak pidana
dan lolosnya pelaku tindak pidana pencucian uang, sebagaimana diatur
berdasarkan :
Pasal 10A UU No. 25 Tahun 2003 :
(1) Pejabat atau pegawai PPATK,
penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang memperoleh dokumen
dan/atau keterangan dalam rangka pelaksanaan tugasnya menurut Undang-Undang
ini, wajib merahasiakan dokumen dan/atau keterangan tersebut kecuali untuk memenuhi
kewajiban menurut Undang-Undang ini.
(2) Sumber keterangan dan laporan
Transaksi Keuangan Mencurigakan
wajib
dirahasiakan dalam persidangan pengadilan.
(3) Pejabat atau pegawai PPATK,
penyidik, penuntut umum, hakim, dan siapapun juga yang karena kelalaiannya
melanggar ketentuan pada ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara
paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 3 (tiga) tahun.
(4)
Jika pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat
(2) dilakukan dengan sengaja, pelaku dipidana dengan pidana penjara paling
singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima belas) tahun.
g. Penjabaran lebih
rinci dan lebih tegas dalam beberapa pasal mengenai
ketentuan kerja sama
bantuan timbal balik di bidang hukum (mutual legal assistance), merupakan
bukti bahwa Pemerintah Indonesia memberikan komitmennya bagi komunitas
internasional untuk bersama-sama mencegah dan memberantas tindak pidana
pencucian uang.
Unsur-Unsur
Pasal 1 angka 1 UU No. 25 Tahun 2002,
mendefinisikan Pencucian Uang adalah perbuatan menempatkan, mentransfer,
membayarkan, membelanjakan, menghibahkan, menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan, atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduga merupakan hasil tindak pidana dengan maksud
untuk menyembunyikan, atau menyamarkan asal usul Harta Kekayaan sehingga
seolah-seolah menjadi Harta Kekayaan yang sah.
Pendefinisian di atas
mengandung unsur-unsur sebagai berikut :
a. Pelaku
b. Transaksi keuangan
atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah
c. Merupakan hasil
tindak pidana
Pelaku.
Dalam UU No. 15 Tahun 2002 maupun
perubahannya dalam UU No. 25 Tahun 2003, digunakan kata “setiap orang”,
dimana dalam Pasal 1 angka 2 dinyatakan bahwa Setiap orang adalah orang
perseorangan atau korporasi. Sementara pengertian korporasi terdapat dalam
Pasal 1 angka 3 yang menyatakan bahwa Korporasi adalah kumpulan orang
dan/atau kekayaan yang terorganisasi baik merupakan badan hukum maupun bukan
badan hukum.
Transaksi keuangan
atau alat keuangan atau finansial untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta kekayaan seolah-olah menjadi harta kekayaan yang sah.
Istilah transaksi jarang atau hampir
tidak dikenal dalam sisi hokum pidana tetapi lebih banyak dikenal pada sisi
hukum perdata, sehingga undang-undang tindak pidana pencucian uang mempunyai
ciri kekhususan yaitu di dalam isinya mempunyai unsur-unsur yang mengandung
sisi hokum pidana maupun perdata. UU No. 25 Tahun 2003 mendefinisikan Transaksi
adalah seluruh kegiatan yang menimbulkan hak atau kewajiban atau menyebabkan
timbulnya hubungan hukum antara dua pihak atau lebih, termasuk kegiatan
pentransferan dan/atau pemindahbukuan dana yang dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan. Transaksi keuangan yang menjadi unsur pencucian uang adalah
transaksi keuangan mencurigakan dan transaksi keuangan yang dilakukan secara
tunai yang belum dilaporkan dan mendapat persetujuan dari Kepala PPATK.
Definisi Transaksi Keuangan Mencurigakan adalah (Pasal 1 angka 7 UU No. 25 Tahun 2003) :
a. transaksi keuangan
yang menyimpang dari profil, karakteristik, atau kebiasaan pola transaksi dari
nasabah yang bersangkutan;
b. transaksi keuangan
oleh nasabah yang patut diduga dilakukan dengan tujuan untuk menghindari
pelaporan transaksi yang bersangkutan yang wajib dilakukan oleh Penyedia Jasa
Keuangan sesuai dengan ketentuan Undang-Undang ini; atau
c. transaksi keuangan
yang dilakukan atau batal dilakukan dengan menggunakan Harta Kekayaan yang
diduga berasal dari hasil tindak pidana, dan definisi
Transaksi Keuangan yang Dilakukan Secara Tunai diatur dalam Pasal 1 angka 8 UU
No. 25 Tahun 2003 adalah transaksi penarikan, penyetoran, atau penitipan
yang dilakukan dengan uang tunai atau instrument pembayaran lain yang dilakukan
melalui Penyedia Jasa Keuangan.
Merupakan
hasil tindak pidana.
Penyebutan tindak pidana pencucian
uang salah satunya harus memenuhi unsur adanya perbuatan melawan hukum
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 UU No. 25 Tahun 2003, dimana perbuatan
melawan hokum tersebut terjadi karena pelaku melakukan tindakan pengelolaan
atas harta kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana. Pengertian hasil tindak
pidana dinyatakan pada Pasal 2 UU No. 25 Tahun 2003 yang telah mengubah UU No.
15 Tahun 2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang yang dalam pembuktian
nantinya hasil tindakan pidana akan merupakan unsur-unsur delik yang harus
dibuktikan. Pembuktian apakah benar harta kekayaan tersebut merupakan hasil
tindak pidana adalah dengan membuktikan ada atau terjadi tindak pidana yang
menghasilkan harta kekayaan tersebut, pembuktian disini bukan untuk membuktikan
apakah benar telah terjadi tindak pidana asal (predicate crime) yang
menghasilkan harta kekayaan.
Dampak Money
Laundering.
Baik cara perolehan uang yang illegal
maupun transaksi keuangan untuk melegalkan uang hasil tindakan illegal
menimbulkan dampak ekonomi mikro dan makro.
Dampak
ekonomi mikro :
a. cara perolehan
uang yang illegal mengganggu jalannya mekanisme pasar. Esensi sistem pasar
adalah adanya pengakuan dan perlindungan terhadap pemilikan pribadi atas
faktor-faktor produksi maupun atas barang-barang serta jasa-jasa yang digunakan
untuk keperluan konsumsi. Namun dengan adanya peluang perolehan uang yang illegal
telah menunjukkan tidak adanya perlindungan dari penguasa atas hak milik, pasar
menjadi tidak efisien yang ditunjukkan dengan meningkatnya biaya transaksi
pasar, adanya akses yang asimetris pada informasi pasar yang menyebabkan
transaksi bersifat zero sum game dalam arti bahwa keuntungan suatu pihak
dapat membawa kerugian bagi pihak lain.
b. transaksi keuangan
untuk melegalkan hasil perolehan uang yang illegal membawa dampak penurunan
produktifitas masyarakat.
Dampak
ekonomi makro :
a. tindak pidana
pencucian uang menghindarkan kewajiban pembayaran pajak yang berarti mengurangi
penerimaan Negara;
b. apabila transaksi
keuangan yang dilakukan adalah dengan membawa uang yang ilegal ke luar negeri
maka akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri, selain itu juga
mengakibatkan berkurangnya dana perbankan yang menyebabkan kesulitan bank
melakukan ekspansi kredit; c. Apabila Negara memperoleh sejumlah uang ilegal
dari luar negeri maka akan menambah kegoncangan stabilitas ekonomi makro.
Terlebih untuk Negara yang tidak memiliki cukup banyak instrumen moneter
sehingga tidak mampu mensterilisasi dampak moneter pemasukan modal.
Jika bank sentral
membeli devisa yang masuk itu sebagai upaya untuk mempertahankan nilai tukar
luar negeri mata uang nasionalnya, jumlah uang beredar akan bertambah dengan
cepat dan tambahan jumlah uang beredar itu akan menyulut inflasi sehingga
menimbulkan gangguan pada keseimbangan internal perekonomian. Akan tetapi jika bank
sentral tidak membeli devisa yang masuk akan menguatkan nilai tukar mata uang
nasional yang menyebabkan berkurangnya insentif kegiatan ekspor. Pengurangan
ini akan menambah defisit neraca pembayaran luar negeri.
Tahapan Pencucian
Uang.
a. tahap penempatan (placement),
merupakan tahap pengumpulan dan penempatan uang hasil kejahatan pada suatu bank
atau tempat tertentu yang diperkirakan aman guna mengubah bentuk uang tersebut
agar tidak teridentifikasi, biasanya sejumlah uang tunai dalam jumlah besar
dibagi dalam jumlah yang lebih kecil dan ditempatkan pada beberapa rekening di
beberapa tempat;
b. tahap pelapisan (layering),
merupakan upaya untuk mengurangi jejak asal muasal uang tersebut diperoleh
atau ciri-ciri asli dari uang hasil kejahatan tersebut atau nama pemilik uang
hasil tindak pidana, dengan melibatkan tempat-tempat atau bank di negara-negara
dimana kerahasiaan bank akan menyulitkan pelacakan jejak uang. Tindakan ini dapat
berupa : mentransfer ke negara lain dalam bentuk mata uang asing, pembelian
property, pembelian saham pada bursa efek menggunakan deposit yang ada di Bank
A untuk meminjam uang di Bank B dan sebagainya.
c. tahap penggabungan
(integration), merupakan tahap mengumpulkan dan menyatukan kembali uang
hasil kejahatan yang telah melalui tahap pelapisan dalam suatu proses arus
keuangan yang sah. Pada tahap ini uang hasil kejahatan benar-benar telah bersih
dan sulit untuk dikenali sebagai hasil tindak pidana, muncul kembali sebagai
asset atau investasi yang tampak legal.
Pengaturan
Tindak Pidana Pencucian Uang Berdasarkan UU No. 15
Tahun
2002 sebagaimana telah diubah dengan UU No. 25 Tahun
2003
dimuat dalam :
Pasal 3
(1) Setiap orang yang dengan
sengaja:
a.
menempatkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana ke dalam Penyedia Jasa Keuangan, baik atas nama sendiri
atau atas nama pihak lain;
b.
mentransfer Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana dari suatu Penyedia Jasa Keuangan ke Penyedia Jasa Keuangan
yang lain, baik atas nama sendiri maupun atas nama pihak lain;
c.
membayarkan atau membelanjakan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik perbuatan itu atas namanya
sendiri maupun atas nama pihak lain;
d.
menghibahkan atau menyumbangkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya merupakan hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas
nama pihak lain;
e.
menitipkan Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya merupakan
hasil tindak pidana, baik atas namanya sendiri maupun atas nama pihak lain;
f.
membawa ke luar negeri Harta Kekayaan yang diketahuinya atau patut diduganya
merupakan hasil tindak pidana; atau
g.
menukarkan atau perbuatan lainnya atas Harta Kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana dengan mata uang atau surat
berharga lainnya, dengan maksud menyembunyikan atau menyamarkan asal usul Harta
Kekayaan yang diketahuinya atau patut
diduganya
merupakan hasil tindak pidana, dipidana karena tindak pidana pencucian uang
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp. 100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp. 15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2)
Setiap orang yang melakukan percobaan, pembantuan, atau permufakatan jahat
untuk melakukan tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama
sebagaimana dimaksud dalam ayat(1).
Pasal 6
(1)
Setiap orang yang menerima atau menguasai:
a. penempatan;
b. pentransferan;
c. pembayaran;
d. hibah;
e. sumbangan;
f. penitipan; atau
g. penukaran,
Harta Kekayaan yang
diketahuinya atau patut diduganya merupakan hasil tindak pidana, dipidana
dengan pidana penjara paling singkat 5 (lima) tahun dan paling lama 15 (lima
belas) tahun dan denda paling sedikit Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah)
dan paling banyak Rp15.000.000.000,00 (lima belas milyar rupiah).
(2) Ketentuan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak berlaku bagi Penyedia Jasa Keuangan
yang melaksanakan kewajiban pelaporan transaksi keuangan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 13.
Pasal 7
Setiap Warga Negara
Indonesia dan/atau korporasi Indonesia yang berada di luar wilayah Negara
Republik Indonesia yang memberikan bantuan, kesempatan, sarana, atau keterangan
untuk terjadinya tindak pidana pencucian uang dipidana dengan pidana yang sama
sebagai pelaku tindak pidana pencucian uang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3.
Dari pasal-pasal di atas, ditunjukkan
adanya pengaturan terhadap jenis-jenis tindak pidana sebagai berikut :
1. Tindak pidana
pencucian uang : yaitu tindakan untuk menempatkan, mentransfer,
membayar/membelanjakan, menghibahkan atau menyumbangkan, menitipkan, membawa ke
luar negeri, menukarkan dengan mata uang atau surat berharga lainnya, atau
perbuatan lain atas harta kekayaan yang diketahui atau patut diduga merupakan
hasil tindak pidana dengan tujuan untuk menyembunyikan atau menyamarkan asal
usul harta kekayaan tersebut.
2. Tindak pidana
percobaan, pembantuan atau permufakatan jahat untuk melakukan tindak pidana
pencucian uang.
3. Tindak pidana
menerima atau menguasai penempatan, pentransferan, pembayaran, hibah,
sumbangan, penitipan, atau penukaran atas harta kekayaan yang diketahuinya atau
patut diduganya merupakan hasil tindak pidana.
Selain itu juga
ditemukan adanya pengaturan yang berkaitan dengan tindak pidana pencucian uang
:
a. penyedia jasa
keuangan yang sengaja tidak menyampaikan laporan yang diwajibkan kepada PPATK
atas transaksi keuangan mencurigakan atau transaksi keuangan yang dilakukan
secara tunai dalam jumlah kumulatif sebesar Rp500.000.000,00 (lima ratus juta
rupiah) atau lebih atau yang nilainya setara, bila dilakukan dalam 1 (satu)
kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam 1 (satu) hari kerja;
b. setiap orang yang
membawa uang tunai ke dalam atau keluar wilayah Negara Republik Indonesia
berupa rupiah sejumlah Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah) atau lebih untuk
melapor kepada Dirjen Bea dan Cukai;
c. bagi direksi,
pejabat atau pegawai penyedia jasa keuangan yang memberitahukan kepada pengguna
jasa keuangan atau orang lain baik secara langsung atau tidak langsung dengan
cara apapun mengenai laporan transaksi keuangan mencurigakan yang sedang
disusun atau telah
disampaikan kepada
PPATK;
d. larangan bagi
saksi, penuntut umum, hakim, dan orang lain yang bersangkutan dengan tindak
pidana pencucian uang yang sedang dalam pemeriksaan di sidang pengadilan untuk
menyebut nama atau alamat pelapor atau hal-hal lain yang memungkinkan dapat
terungkapnya identitas
pelapor.
Modus-Modus
Pencucian Uang
Dalam perbuatan
tindak pidana pencucian uang terdapat pengkategorian beberapa modus yang
didasarkan pada tipologinya :
a. tipologi dasar :
1). modus
orang ketiga, yaitu dengan menggunakan seseorang untuk menjalankan perbuatan
tertentu yang diinginkan oleh pelaku pencurian uang, dapat dengan menggunakan
atau mengatasnamakan orang ketiga atau orang lain lagi yang berlainan.
Ciri-cirinya adalah :
orang
ketiga hampir selalu nyata dan bukan hanya nama palsu dalam dokumen, orang
ketiga biasanya menyadari ia dipergunakan, orang ketiga tersebut merupakan
orang kepercayaan yang bisa dikendalikan, dan hubungannya dengan pelaku sangat
dekat sehingga dapat berkomunikasi setiap saat.
2). modus
topeng usaha sederhana, merupakan kelanjutan modus orang ketiga, dimana orang
tersebut akan diperintahkan untuk mendirikan suatu bidang usaha dengan
menggunakan kekayaan yang merupakan hasil tindak pidana.
3). modus
perbankan sederhana, dapat merupakan kelanjutan modus pertama dan kedua, namun
juga dapat berdiri sendiri. Disini terjadi perpindahan sistem transaksi tunai
yang berubah dalam bentuk cek kontan, cek perjalanan, atau bentuk lain dalam
deposito, tabungan yang dapat ditransfer dengan cepat dan digunakan lagi dalam pembelian
aset-aset. Modus ini banyak meninggalkan jejak melalui dokumen rekening koran,
cek, dan data-data lain yang mengarah pada nasabah itu, serta keluar masuknya
dari proses transaksi baik yang menuju pada seseorang maupun pada aset-aset,
atau pun pada pembayaran-pembayaran lain.
4).modus
kombinasi perbankan atau usaha, yang dilakukan oleh orang ketiga yang menguasai
suatu usaha dengan memasukkan uang hasil kejahatan ke bank untuk kemudian
ditukar dengan cek yang kemudian digunakan untuk pembelian aset atau pendirian
usahausaha lain.
b.
tipologi ekonomi :
1).model smurfing,
yakni pelaku menggunakan rekan-rekannya yang banyak untuk memecah sejumlah
besar uang tunai dalam jumlah-jumlah kecil dibawah batas uang tunai sehingga
bank tidak mencurigai kegiatan tersebut untuk kemudian uang tunai tersebut
ditukarkan di bank dengan cek wisata atau cek kontan. Bentuk lain adalah dengan
memasukkan dalam rekening para smurfing di satu tempat pada suatu bank
kemudian mengambil pada bank yang sama di kota yang berbeda atau disetorkan
pada rekening-rekening pelaku pencucian uang di kota lain sehingga terkumpul
dalam beberapa rekening pelaku pencucian uang. Rekening ini tidak langsung atas
nama pelaku namun bisa menunjuk pada suatu perusahaan lain atau rekening lain
yang disamarkan nama pemiliknya.
2).model perusahaan
rangka, disebut demikian karena perusahaan ini sebenarnya tidak menjalankan
kegiatan usaha apapun, melainkan dibentuk agar rekening perusahaannya dapat
digunakan untuk memindahkan sesuatu atau uang. Perusahaan rangka dapat digunakan
untuk penempatan (placement) dana sementara sebelum dipindah atau
digunakan lagi.
Perusahaan rangka
dapat terhubung satu dengan yang lain misal saham PT A dimiliki oleh PT B yang berada
di daerah atau Negara lain, sementara saham PT B sebagian dimiliki oleh PT A,
PT B, PT C, dan/atau PT D yang berada di daerah atau Negara lain
3).modus pinjaman
kembali, adalah suatu variasi dari kombinasi modus perbankan dan modus usaha.
Contohnya : pelaku pencucian uang menyerahkan uang hasil tindak pidana kepada A
(orang ketiga), dan A memasukkan sebagian dana tersebut ke bank B dan sebagian
dana juga didepositokan ke bank C. Selain itu A meminjam uang ke bank D. Dengan
bunga deposito bank C, A kemudian membayar bunga dan pokok pinjamannya dari
bank D. Dari segi jumlah memang terdapat kerugian karena harus membayar bunga
pinjaman namun uang illegal tersebut telah berubah menjadi uang pinjaman yang
bersih dengan dokumen yang lengkap.
4). modus menyerupai
MLM.
5).modus under
invoicing, yaitu modus untuk memasukkan uang hasil tindak pidana dalam
pembelian suatu barang yang nilai jual barang tersebut sebenarnya lebih besar
daripada yang dicantumkan dalam faktur.
6).modus over
invoicing, merupakan kebalikan dari modus under invoicing.
7).modus over
invoicing II, dimana sebenarnya tidak ada barang yang diperjualbelikan,
yang ada hanya faktur-faktur yang dijadikan bukti pembelian (penjualan fiktif)
sebab penjual dan pembeli sebenarnya adalah pelaku pencucian uang.
8).modus
pembelian kembali, dimana pelaku menggunakan dana yang telah dicuci untuk
membeli sesuatu yang telah dia miliki.
c. tipologi IT :
1). modus
E-Bisnis, hampir sama dengan modus menyerupai MLM, namun menggunakan sarana
internet.
2). modus
scanner merupakan tindak pidana pencucian uang dengan predicate crime berupa
penipuan dan pemalsuan atas dokumen-dokumen transaksi keuangan.
d.
tipologi hitek adalah suatu bentuk kejahatan terorganisir secara skema namun
orang-orang kunci tidak saling mengenal, nilai uang relatif tidak besar tetapi
bila dikumpulkan menimbulkan kerugian yang sangat besar. Dikenal dengan nama
modus cleaning dimana kejahatan ini biasanya dilakukan dengan menembus
sistem data base suatu bank.
Pembuktian Terbalik
UU Tindak Pidana Pencucian Uang
menyatakan bahwa Untuk kepentingan pemeriksaan di sidang pengadilan,
terdakwa wajib membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan merupakan hasil tindak
pidana (Pasal 35 UU No. 15 Tahun 2002 sebagaimana telah diubah dengan
UU No. 25 Tahun 2003). Hal ini merupakan salah satu kekhususan tindak pidana
pencucian uang dibandingkan dengan pengaturan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana dimana terdakwa tidak dibebani kewajiban tidak dibebani kewajiban
pembuktian (Pasal 66), namun pembuktian terbalik untuk tindak pidana pencucian
uang hanya dapat dilakukan oleh terdakwa pada tingkat pengadilan bukan pada
tingkat penyidikan atau penuntutan.
Kesulitan Penerapan
UU Tindak Pidana Pencucian Uang
a.
Fungsi PPATK hanya bersifat administratif, yaitu untuk mengumpulkan, menyimpan,
menganalisis, mengevaluasi informasi yang diperoleh PPATK
(Pasal 26 huruf a)
dan bilamana dari hasil analisis ditemukan transaksi keuangan yang berindikasi
tindak pidana pencucian uang maka PPATK baru melaporkan kepada kepolisian dan
kejaksaan (Pasal 26 huruf g), atau paling lambat 3(tiga) hari kerja sejak
ditemukan adanya petunjuk atas dugaan transaksi keuangan yang mencurigakan,
PPATK wajib menyerahkan hasil analisis kepada penyidik untuk ditindaklanjuti
(Pasal 31). Selain itu PPATK tidak mempunyai kewenangan untuk melakukan pemblokiran
atas dana yang diduga merupakan hasil tindak pidana.
b.
Pihak kepolisian dan penuntut umum memiliki kesulitan dalam membuktikan
terjadinya tindak pidana pencucian uang karena modusnya yang bervariasi dan
biasanya tidak ditemukan adanya cukup alat bukti.
Dasar
Hukum dan Daftar Pustaka :
- UU No. 15 Tahun
2002;
- UU No. 25 Tahun
2003;
- Drs. Tb. Imran S.
SH., MH. dalam Hukum Pembuktian Pencucian Uang Money Laundering;
- Yenti Garnasih
dalam Arti Pencucian Uang di Indonesia dan Kelemahan dalam Implementasinya (Suatu
Tinjauan Awal);
- Dr. Bismar Nasution
SH.MH dalam Pemahaman UU Tindak Pidana Pencucian Uang (Money Laundering);
- Prof. Dr. Anwar
Nasution dalam Sumber, Proses, Mekanisme dan Dampak Ekonomi “Money Laundering
Crime”;
-
Erman Radjagukguk, SH., LLM. Ph.D dalam Money Laundering Crime Dalam
Hukum Perbankan.
No comments:
Post a Comment