Ibnu Sina
1. Tolok Ukur Kebutuhan Akibat (Ma’lul)
kepada Sebab (‘Illah)
Para
teolog beranggapan bahwa kebutuhan suatu akibat (makhluk) kepada sebab
(pencipta) hanya pada tingkat perwujudan dan penciptaan makhluk, bukan pada
keberlangsungan keberadaan makhluk. Hal ini berbeda dengan pandangan Ibnu Sina
yang menjelaskan, “Sebagian manusia beranggapan bahwa kebergantungan dan
kebutuhan makhluk kepada sesuatu yang dinamakan pencipta, dipandang hanya pada
sisi makna makhluk dan makna pencipta itu sendiri. Makna makhluk, misalnya,
adalah sesuatu yang tercipta dan terwujud, sementara makna pencipta adalah
sesuatu yang menciptakan dan mewujudkan.”
Hakikat
dari makna tersebut adalah bahwa makhluk ini pada awalnya tiada dan tidak
berwujud, kemudian dengan perantaraan pencipta, makhluk tersebut menjadi ada
dan berwujud. Makna ini (berdasarkan pandangan teolog) tidak lain adalah
penciptaan, perwujudan, dan perbuatan itu sendiri. Berpijak pada perspektif
ini, bahwa huduts (keberadaan setelah tiada) itu dipandang satu-satunya
tolok ukur kepenciptaan. Bisa jadi para teolog berpikir bahwa ketika sesuatu
itu telah tercipta, maka kebutuhannya kepada pencipta menjadi sirna sedemikian
sehingga kalaupun penciptanya kemudian menjadi tiada, maka makhluk tetap akan
ada dan terus berwujud. Hal ini sebagaimana yang senantiasa kita saksikan bahwa
ketika tukang bangunan meninggal maka bangunan yang dibangunnya akan tetap ada,
utuh, dan tidak menjadi sirna
Ibnu Sina
setelah menegaskan wujud dan sifat Tuhan (Wâjibul Wujûd) kemudian
melangkah menjelaskan hubungan antara Tuhan dan makhluk serta masalah-masalah
yang berhubungan dengan perwujudan dan penciptaan, seperti tujuan hakiki,
urutan, dan sistem alam.
1.
Definisi Maujud Sempurna dan Tak Sempurna
Ibnu Sina
pertama-tama mendefinisikan maujud sempurna yang sama sekali tak bergantung
pada sesuatu yang lain dan lantas menentukan wujud tak sempurna yang bergantung
pada yang lain. Poin ini merupakan mukadimah untuk menegaskan bahwa Wâjibul
Wujûd tidak berupaya mencapai suatu tujuan tertentu dalam menciptaan alam.
Menurut Ibnu Sina, “Anda ketahui bahwa mana di antara maujud yang maha kuat dan
maha kaya (sama sekali tidak membutuhkan sesuatu di luar dirinya)?
Suatu
maujud bisa dikatakan yang maha kuat dan kaya itu jika tidak bergantung pada
selain dirinya dari tiga aspek:
- Dari sisi zat;
- Dari sisi sifat hakiki;
- Dari sisi kesempurnaan hakiki
suatu zat.
Oleh
karena itu, setiap maujud yang butuh dan bergantung kepada maujud lain dari dimensi
zat, sifat hakiki, dan kesempurnaan (seperti bentuk, ilmu, kodrat, keindahan)
ialah maujud yang tak sempurna, fakir, dan lemah
Ibnu Sina pada bagian ini berupaya
menjelaskan persoalan huduts dan qidam-nya alam dengan mengajukan
pertanyaan: Apakah alam bersifat qâdim atau hâdits?
Pada pembahasan ini, Ibnu Sina
mengisyaratkan tiga hal:
- Keyakinan yang beragam tentang pencipta alam;
- Argumentasi para teolog tentang huduts-nya alam;
- Dalil para filosof tentang qidam-nya alam.
Di bawah ini akan diuraikan ketiga
hal tersebut:
1. Keyakinan yang beragam tentang
pencipta alam
Sebagian kelompok meyakini bahwa
maujud materi secara esensial terwujud dengan sendirinya dan tidak membutuhkan
suatu Pencipta eksternal, maujud materi mesti-ada dengan sendirinya.
1. Penetapan Wujud Non-Materi
Ibnu Sina
pada kesempatan ini berupaya membuktikan bahwa eksistensi tidak hanya terbatas
pada materi dan realitas yang terindera. Dasar argumentasinya berpijak pada
perkara-perkara yang bersifat universal (al-Kulli). Dia menjelaskan,
“Kita bisa memahami suatu hakikat universal yang memiliki eksistensi eksternal
dengan menelaah hal-hal yang partikular, namun realitas eksternal ini bukanlah
realitas materi yang dapat diindera. Dan terkadang kita mendengar sebagian
orang yang memiliki pikiran keliru dan menyangka bahwa eksistensi adalah
indentik dengan wujud-wujud materi yang terindera. Dengan demikian,
maujud-maujud non-materi tidak memiliki eksistensi hakiki.”
Ibnu Sina
dalam menjawab kritikan tersebut berkata, “Apabila kita menelaah secara serius
dan sistimatik benda-benda materi ini, maka kita akan memahami kesalahan
pikiran mereka. Mereka memahami bahwa kita menggunakan kata yang sama untuk
sebagian benda, seperti penggunaan kata manusia yang mencakup individu-individu
yang berbeda (Muhammad, Ali, Fatimah, Hasan, Husain). Penggunaan kata ini bukan
semata-mata bersifat semantik, melainkan menceritakan suatu kenyataan hakiki.
Apakah hakikat manusia yang terdapat dalam pikiran yang memiliki wujud
eksternal ialah maujud materi ataukah maujud non-materi
1.
Kemustahilan Satu Hakikat memiliki Akibat Beragam
Pembahasan
ini merupakan mukadimah pembuktian keesaan dan ketunggalan Tuhan (Wâjibul
Wujûd). Dalam hal ini Ibnu Sina berkata, “Perkara-perkara yang berbeda satu
sama lain dalam perwujudan realitas eksternalnya dan pada saat yang sama
memiliki hakikat dan esensi yang sama, pasti memiliki dua aspek, pertama
berkaitan dengan karakteristik dan kekhususan (keragaman) zatnya masing-masing
dan kedua yang berhubungan dengan aspek kesatuan dan kesamaan dari
masing-masingnya. Kita bisa mengkaji kedua aspek ini dari sisi hubungan dan
kaitannya satu sama lain. Hubungan antara kesatuan dan keragaman tersebut kita
bisa asumsikan kedalam empat bentuk, antara lain:
- Kesatuan itu merupakan akibat
dari keragaman. Pada asumsi ini, hakikat-hakikat yang berbeda pasti
memiliki kemestian dan akibat yang sama dan tunggal, karena kita
beranggapan bahwa kesatuan tersebut berasal dari kemestian hakikat-hakikat
zat yang berbeda. Asumsi ini adalah tidak logis. Sebagai contoh, apabila
genus dipandang dari kemestian diferensia, maka diferensia-diferensia yang
berbeda hanya memiliki satu genus, yakni memiliki satu kemestian dan
akibat;
- Keragaman itu berasal dari
kesatuan, yakni kejamakan dan keragaman bersumber dari kesatuan dan
ketunggalan. Dengan berpijak pada asumsi ini, kita harus menerima bahwa
hakikat yang satu memiliki beragam kemestian. Namun asumsi ini tetap saja
tidak rasional, karena kita tidak dapat menggambarkan bahwa satu hakikat,
dalam dimensi kesatuan dan ketunggalannya, memiliki kemestian-kemestian
dan akibat-akibat yang jamak dan beragam;
- Kesatuan mengaksiden dan
menempel pada keragaman. Asumsi ini adalah tidak benar;
4.
Keragaman mengaksiden pada kesatuan.
Asumsi ini bisa diterima. Kita memiliki banyak contoh-contoh dan
fenomena-fenomena dimana satu hakikat memiliki aksiden-aksiden yang beragam,
seperti hakikat manusia yang memiliki banyak individu-individu yang berbeda dan
beragam dengan perantaraan aksiden-aksiden yang berbeda.”
SEKOLAH IBNU SINA
Sekolah al-Farabi adalah satu sekolah di Baghdad,
dan dikenal dengan nama Sekolah Baghdad. Kegemilangannya banyak berasal dari
orang-orang Nasrani, mulai dari Abu Basyar Matta dan Yuhana Bin Hailan.
Puncaknya adalah al-Farabi dan muridnya Yahya bin ‘Uday. Sekolah al-Farabi
sangat bertentangan dengan sekolah al-Kindi, baik metode maupun objeknya.
Sedangkan Sekolah Ibnu Sina yang muncul di Persia, sangat bertentangan dengan sekolah Baghdad. Yang pertama meremehkan pandangan-pandangan dan penafsiran-penafsiran yang kedua, juga mengkritik para pemimpinnya, kecuali al-Farabi. Dalam kitab Mabâhitsât, (lih. Aristhu ‘Inda al-Arab, karya Abd al-Rahman Badawi, hal. 120-22) Ibnu Sina berkata: “…manusia berbeda pendapat tentang persoalan jiwa dan akal. Mereka bodoh tentang hal itu, apalagi orang-orang Nasrani dari kota Salam”. Kota salam adalah Baghdad. Kemudian Ibnu Sina berbicara tentang pokok pandangannya mengenai jiwa dan akal dan persoalan-persoalan lain. Ia mengatakan bahwa kitabnya al-Syifâ’, dapat menghilangkan keraguan mengenai hal itu dan sekaligus memberikan solusi terhadap persoalan jiwa dan akal. Ibnu Sina juga mengarang satu kitab yang berjudul al-Inshâf, di mana ia membagi ulama menjadi dua; Kelompok Masyriqi (ulama-ulama Persia) dana Kelompok Maghribi (ulama-ulama Syam dan Baghdad). Ibnu Sina mengemukakan perbedaan antara kedua kelompok dengan sangat netral. Di buku tersebut Ibnu Sina berbicara tentang “Teologia” Aristoteles. Ia juga menyinggung kekacauan pikiran para penafsir. Akan tetapi dalam suatu penaklukan (peperangan), buku ini kemudian menghilang. Seperti dikatakan oleh Ibnu Sina, buku itu “berisi tentang ringkasan kelemahan dan kebodohan orang-orang Baghdad”. Akan tetapi ia mengecualikan sang guru kedua (al-Farabi) dari kedunguan dan kebodohan itu.
Ibnu Sina telah mewariskan kita catatannya sendiri tentang riwayat hidupnya, yang kemudian disempurnakan oleh muridnya, Abu ‘Ubaid al-Juzjani. Dengan begitu, mudahlah kita mengetahui detail kehidupan ilmiahnya, caranya mengajar dan bagaimana ia mencurahkan hidupnya untuk majlis ta’lîm (majlis pengajaran). Dialah Syeikh Kepala, Abu Ali al-Husain ibn Abdullah ibn al-Husain ibn Ali bin Sina. Dilahirkan pada tahun 370 H dan wafat pada tahun 428 H. “Syeikh”, menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sangat tinggi ilmunya, sedangkan “Kepala”, boleh jadi karena ia mengepalai suatu departemen, akan tetapi yang paling umum adalah bahwa gelar tersebut menunjukkan Ibnu Sina adalah pemimpin para filosof. Ayahnya dari Balkh, pindah ke Bukhara pada masa gubernur Nuh bin Manshur. Belajar nahwu, bahasa, al-Qur’an dan sastra di Bukhara sejak kecil. Ayahnya sering berkumpul dengan da’i dari kelompok Isma’iliyah. Dari sana Ibnu Sina mendengar pembicaraan tentang jiwa, akal, filsafat dan teknik. Kemudian ia mempelajari ilmu hitung India dari seorang penjual kol. Ia juga mempelajari mantiq, astronomi dan kedokteran. Kemudian ia kembali mempelajari ilmu-ilmu filsafat secara otodidak. Akhirnya ia membaca buku Metafisika-nya Aristoteles yang sama sekali ia tidak dapat memahaminya sampai kemudian ia membeli buku al-Farabi yang menjelaskan pokok-pokok dari buku tersebut, ia pun menjadi faham. Ia bergaul dengan Nuh bin Manshur. Yang kedua ini mengagumi kecerdasan yang disebut pertama. Ia pun memasukkan al-Farabi ke dalam perpustakaannya dan mampu menghafal di luar kepala apa yang ada di sana. Ibnu Sina berpindah-pindah di kota Persia sehingga ia samapi di kota Jurjan di mana kemudian al-Juzjani menemuinya dan mendorongnya untuk menulis buku. al-Juzjani mengabdi pada Ibnu Sina dengan penuh kesungguhan.
Di Jurjaan, Ibnu Sina dibelikan sebuah rumah oleh Abu Muhammad al-Syirazi yang kemudian menempatkan Ibnu Sina di sana. Al-Juzjani ikut tinggal bersama Ibnu Sina di rumah itu. Boleh jadi Ibnu Sina menerima murid lain selain al-Juzjaani itu. Di tempat tersebut, Ibnu Sina mendiktekan satu kita berjudul al-Mabdâ wa al-Ma’âd, Awwal al-Qânûn dan banyak risalah lainnya. Ibnu Sina kemudian pindah ke Ray, di mana ia mengabdi kepada gubernur. Kemudian ia pindah lagi ke Quzwain dan dari sana ia pindah ke Hamdan dan berhubungan dengan gubernur yang kemudian menugaskannya di sebuah departemen.
Selama memegang jabatan di departemen ini, ia mengarang dua buku utamanya; al-Syifâ’ di bidang filsafat dan al-Qanûn di bidang kedokteran. Al-Juzjani mendeskripsikan majlis Ibnu Sina: “setiap malam di rumahnya berkumpul para penuntut ilmu. Aku membaca sebagian dari kitab al-Qanûn, dan pelajar lain membaca sebagian. Jika kami selesai belajar, datanglah panganan dan minuman untuk kami. Kegiatan belajar dilakukan di malam hari karena di siang hari sibuk mengabdi kepada gubernur”. Biasanya Ibnu Sina mendiktekan bukunya kepada muridnya, hanya kadang-kadang saja ia menulis sendiri.”
Ketika muridnya bertambah banyak, reputasinya semakin bersinar. “Gubernur ‘Ala’ al-daulah membuat program pengkajian setiap malam jum’at. Di sana hadir semua kelompok ulama dan syeikh dari berbagai disiplin ilmu”
Al-Juzjani tidak menyebutkan seorang pelajar pun dalam biograpi Ibnu Sina yang ditulisnya, khususnya muridnya yang bernama Abu al-Hasan Bahmaniar yang selalu mengikuti Ibnu Sina dalam majlis belajarnya ketika ia memegang jabatan menteri. Al-Juzjani bercerita: “Aku dan sekelompok pelajar Ibnu Sina menghadiri majlis belajarnya setiap sabtu pagi. Tepat di pagi itu tampak oleh Syekh adanya kelesuan di wajah kami, beliau lalu berkata: sepertinya kalian telah menghabiskan malam kalian dengan sia-sia. Kami pun berkata “benar”, kemarin kami bersama sekelompok teman berekreasi, sehingga kami tak sempat menelaah pelajaran. Mendengar hal itu, Syeikh menarik nafas panjang, air matanya berlinang, sambil berujar: “Yang lebih aku sedihkan adalah seorang atlet yang memperoleh puncak prestasinya sehingga membuat takjub dan kagum ribuan orang karena prestasi fisiknya itu. Akan tetapi kalian, dengan banyaknya pengetahuan yang kalian miliki, sama sekali tidak mempunyai kedudukan dan nilai. Kalian lebih memilih untuk bermain dari pada mencari ilmu, sehingga kalian, dengan kemampuan spiritual kalian, tidak mampu memperoleh suatu kedudukan spiritual yang membuat kagum orang-orang bodoh sepanjang zaman”. Bahmaniar wafat pada tahun 458 H. Kitab terpenting yang dikarangnya adalah al-Tahshîl di mana ia menjelaskan filsafat Ibnu sina.
Di antara murid Bahmaniar adalah Abu al-Abbas al-Lukriy, seorang ahli ilmu hikmah. Dari dialah ilmu hikmah tersebar di Khurrasan. Dari Abu al-Abbas belajarlah Afdhal al-Din al-Ghailaniy, dan dari Ghailaniy belajarlah Shadruddin al-Sarkhasiy (w. 545 H), dan dari Sarkhasiy belajarlah Farid al-Din al-Nisaburiy. Yang terakhir ini adalah guru dari Nashr al-Din al-Thusi, murid terakhir sekolah Ibnu Sina, pensyarah kitab al-Isyârât karya Ibnu Sina, pembaharu pengajaran filsafat dan matematika dan pemilik kajian keilmuan tempat berkumpulnya banyak pelajar-pelajar ilmu filsafat, teknik dan logika. Al-Thusi wafat pada tahun 672 H, sekolah al-Thusiy berkembang dan memperoleh puncaknya di tangan Mirdamad (1401 H) di Isfahan bersama murid-muridnya.
Apakah ajaran-ajaran Ibnu Sina itu?
Ajaran-ajarannya adalah pengembangan dari pendapat-pendapat al-Farabi. Namun Ibnu Sina mempunyai andil dengan penambahan ungkapan-ungkapan yang lebih luas dan penjelasan-penjelaan yang lebih banyak. Ibnu Sina sendiri sebenarnya lebih sebagai seorang dokter ketimbang sebagai seorang filosof. Bukunya al-Qânûn fi al-Thibb menjadi rujukan dalam ilmu kedokteran di Eropa Latin sampai awal abad XVIII M. Filsafat Ibnu Sina terpengaruh oleh ilmu kedokterannya dalam menciptakan metode eksperimental yang cermat. Sedangkan dalam ilmu filsafat, bukunya yang berjudul al-Syifâ’ dianggap sebagai sebuah ensiklopedia filsafat yang mencakup logika, ilmu alam, matematika dan Ilahiyat, jika diukur dengan apa yang telah disusun oleh Aristoteles atau oleh filsafat peripatetik. Ibnu Sina telah mengikuti guru pertama dan para pensyarahnya dengan menggabungkan berbagai pendapat dan menyerasikannya. Pengaruhnya dalam ilmu mantiq (logika) tidak dapat diingkari, dan tak diragukan lagi bahwa ia bertanggung jawab atas tersebarnya ilmu mantiq dalam bentuknya yang sekarang di dunia Arab. Bukunya yang berjudul al-Bashâ’ir al-Nashîriyah dalam ilmu logika–yang telah di-tahqiq (diedit) dan dipublikasikan oleh Muhammad Abduh sekaligus mengajarkanya—diangap sebagai ringkasan inti dari pandangan-pandangan Ibnu Sina.
Pengaruhnya dalam ilmu Ilahiyyat tidak kurang dibanding dalam ilmu logika. Yang dimaksud dengan ilmu Ilahiyyat adalah apa yang kita namakan sekarang dengan metafisika. Di sini ia berbicara tentang “yang wajib” atau “yang wajib ada”, tentang kebersambungan “being”-“being” dari “yang wajib” itu, juga tentang sebab-sebab. “Yang wajib ada” adalah yang ketika diasumsikan tidak ada, maka akan dikatakan mustahil. “Yang mungkin ada” adalah apa yang jika diasumsikan ada atau tidak ada, maka tidak dikatakan mustahil. Di muka telah kita ketahui bahwa Ibnu Sina telah mendeskripsikan Allah sebagai al-Haq (yang Maha benar), sedangkan al-Farabi mendeskripsikanya sebagai al-Wahid (Yang Satu). Di sini kita melihat pandangan Ibnu Sina yang bersifat eksistensialis dan rasionalis. Allah adalah sesuatu yang wajib ada karena zat-Nya. “Wajib” adalah konsep logika yang berlawanan dengan “mustahil” dan ditengahi dengan “al-mumkin”. Al-Maujûd adalah batu sudut dalam filsafat peripatetik (Aristoteles), sedangkan al-Wâhid adalah, seperti yang kita lihat, berada di atas “al-wujûd” (being) dalam filsafat Plotinus.
Tegasnya perbedaan antara guru kedua (al-Farabi) dan syeikh kepala (Ibnu Sina) adalah bahwa al-Farabi cenderung kepada Platonisme, sedangkan Ibnu Sina lebih condong kepada filsafat peripatetik. Ini bukanlah satu-satunya perbedaan anatar kedua filosof ini dan kedua mazhabnya, karena pada akhir hayatnya, Ibnu Sina menciptakan satu filsafat lain yang berbeda dengan filsafat peripatetik. Ia mrenjelaskan hal itu dalam kitabnya al-Syifâ’ dan al-Najât. Filsafat ini ia namakan filsafat ketimuran, seperti tercermin dalam kitab “al-Isyârât”. Filsafat ketimuran ini bersifat iluminatif dan sufistik.
Al-Ghazali (450-501 H) menulis kitab Tahâfut al-Falâsifah ketika ia melihat banyak pendapat Ibnu Sina yang membahayakan ajaran Islam. Dalam kitab ini al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam 20 masalah, terutama masalah qidam-nya alam, ketidaktahuan Allah terhadap hal-hal yang partikular serta penolakan terhadap kebangkitan. Banyak tuduhan al-Ghazali yang tidak beralasan. Akhirnya filsafat diisolasi dan dimasukkan ke dalam ilmu kalam yang kemudian dinamakan dengan ilmu tauhid. Wallahu a’lam
Palu, 28 April 2010
Sedangkan Sekolah Ibnu Sina yang muncul di Persia, sangat bertentangan dengan sekolah Baghdad. Yang pertama meremehkan pandangan-pandangan dan penafsiran-penafsiran yang kedua, juga mengkritik para pemimpinnya, kecuali al-Farabi. Dalam kitab Mabâhitsât, (lih. Aristhu ‘Inda al-Arab, karya Abd al-Rahman Badawi, hal. 120-22) Ibnu Sina berkata: “…manusia berbeda pendapat tentang persoalan jiwa dan akal. Mereka bodoh tentang hal itu, apalagi orang-orang Nasrani dari kota Salam”. Kota salam adalah Baghdad. Kemudian Ibnu Sina berbicara tentang pokok pandangannya mengenai jiwa dan akal dan persoalan-persoalan lain. Ia mengatakan bahwa kitabnya al-Syifâ’, dapat menghilangkan keraguan mengenai hal itu dan sekaligus memberikan solusi terhadap persoalan jiwa dan akal. Ibnu Sina juga mengarang satu kitab yang berjudul al-Inshâf, di mana ia membagi ulama menjadi dua; Kelompok Masyriqi (ulama-ulama Persia) dana Kelompok Maghribi (ulama-ulama Syam dan Baghdad). Ibnu Sina mengemukakan perbedaan antara kedua kelompok dengan sangat netral. Di buku tersebut Ibnu Sina berbicara tentang “Teologia” Aristoteles. Ia juga menyinggung kekacauan pikiran para penafsir. Akan tetapi dalam suatu penaklukan (peperangan), buku ini kemudian menghilang. Seperti dikatakan oleh Ibnu Sina, buku itu “berisi tentang ringkasan kelemahan dan kebodohan orang-orang Baghdad”. Akan tetapi ia mengecualikan sang guru kedua (al-Farabi) dari kedunguan dan kebodohan itu.
Ibnu Sina telah mewariskan kita catatannya sendiri tentang riwayat hidupnya, yang kemudian disempurnakan oleh muridnya, Abu ‘Ubaid al-Juzjani. Dengan begitu, mudahlah kita mengetahui detail kehidupan ilmiahnya, caranya mengajar dan bagaimana ia mencurahkan hidupnya untuk majlis ta’lîm (majlis pengajaran). Dialah Syeikh Kepala, Abu Ali al-Husain ibn Abdullah ibn al-Husain ibn Ali bin Sina. Dilahirkan pada tahun 370 H dan wafat pada tahun 428 H. “Syeikh”, menunjukkan bahwa ia adalah seorang yang sangat tinggi ilmunya, sedangkan “Kepala”, boleh jadi karena ia mengepalai suatu departemen, akan tetapi yang paling umum adalah bahwa gelar tersebut menunjukkan Ibnu Sina adalah pemimpin para filosof. Ayahnya dari Balkh, pindah ke Bukhara pada masa gubernur Nuh bin Manshur. Belajar nahwu, bahasa, al-Qur’an dan sastra di Bukhara sejak kecil. Ayahnya sering berkumpul dengan da’i dari kelompok Isma’iliyah. Dari sana Ibnu Sina mendengar pembicaraan tentang jiwa, akal, filsafat dan teknik. Kemudian ia mempelajari ilmu hitung India dari seorang penjual kol. Ia juga mempelajari mantiq, astronomi dan kedokteran. Kemudian ia kembali mempelajari ilmu-ilmu filsafat secara otodidak. Akhirnya ia membaca buku Metafisika-nya Aristoteles yang sama sekali ia tidak dapat memahaminya sampai kemudian ia membeli buku al-Farabi yang menjelaskan pokok-pokok dari buku tersebut, ia pun menjadi faham. Ia bergaul dengan Nuh bin Manshur. Yang kedua ini mengagumi kecerdasan yang disebut pertama. Ia pun memasukkan al-Farabi ke dalam perpustakaannya dan mampu menghafal di luar kepala apa yang ada di sana. Ibnu Sina berpindah-pindah di kota Persia sehingga ia samapi di kota Jurjan di mana kemudian al-Juzjani menemuinya dan mendorongnya untuk menulis buku. al-Juzjani mengabdi pada Ibnu Sina dengan penuh kesungguhan.
Di Jurjaan, Ibnu Sina dibelikan sebuah rumah oleh Abu Muhammad al-Syirazi yang kemudian menempatkan Ibnu Sina di sana. Al-Juzjani ikut tinggal bersama Ibnu Sina di rumah itu. Boleh jadi Ibnu Sina menerima murid lain selain al-Juzjaani itu. Di tempat tersebut, Ibnu Sina mendiktekan satu kita berjudul al-Mabdâ wa al-Ma’âd, Awwal al-Qânûn dan banyak risalah lainnya. Ibnu Sina kemudian pindah ke Ray, di mana ia mengabdi kepada gubernur. Kemudian ia pindah lagi ke Quzwain dan dari sana ia pindah ke Hamdan dan berhubungan dengan gubernur yang kemudian menugaskannya di sebuah departemen.
Selama memegang jabatan di departemen ini, ia mengarang dua buku utamanya; al-Syifâ’ di bidang filsafat dan al-Qanûn di bidang kedokteran. Al-Juzjani mendeskripsikan majlis Ibnu Sina: “setiap malam di rumahnya berkumpul para penuntut ilmu. Aku membaca sebagian dari kitab al-Qanûn, dan pelajar lain membaca sebagian. Jika kami selesai belajar, datanglah panganan dan minuman untuk kami. Kegiatan belajar dilakukan di malam hari karena di siang hari sibuk mengabdi kepada gubernur”. Biasanya Ibnu Sina mendiktekan bukunya kepada muridnya, hanya kadang-kadang saja ia menulis sendiri.”
Ketika muridnya bertambah banyak, reputasinya semakin bersinar. “Gubernur ‘Ala’ al-daulah membuat program pengkajian setiap malam jum’at. Di sana hadir semua kelompok ulama dan syeikh dari berbagai disiplin ilmu”
Al-Juzjani tidak menyebutkan seorang pelajar pun dalam biograpi Ibnu Sina yang ditulisnya, khususnya muridnya yang bernama Abu al-Hasan Bahmaniar yang selalu mengikuti Ibnu Sina dalam majlis belajarnya ketika ia memegang jabatan menteri. Al-Juzjani bercerita: “Aku dan sekelompok pelajar Ibnu Sina menghadiri majlis belajarnya setiap sabtu pagi. Tepat di pagi itu tampak oleh Syekh adanya kelesuan di wajah kami, beliau lalu berkata: sepertinya kalian telah menghabiskan malam kalian dengan sia-sia. Kami pun berkata “benar”, kemarin kami bersama sekelompok teman berekreasi, sehingga kami tak sempat menelaah pelajaran. Mendengar hal itu, Syeikh menarik nafas panjang, air matanya berlinang, sambil berujar: “Yang lebih aku sedihkan adalah seorang atlet yang memperoleh puncak prestasinya sehingga membuat takjub dan kagum ribuan orang karena prestasi fisiknya itu. Akan tetapi kalian, dengan banyaknya pengetahuan yang kalian miliki, sama sekali tidak mempunyai kedudukan dan nilai. Kalian lebih memilih untuk bermain dari pada mencari ilmu, sehingga kalian, dengan kemampuan spiritual kalian, tidak mampu memperoleh suatu kedudukan spiritual yang membuat kagum orang-orang bodoh sepanjang zaman”. Bahmaniar wafat pada tahun 458 H. Kitab terpenting yang dikarangnya adalah al-Tahshîl di mana ia menjelaskan filsafat Ibnu sina.
Di antara murid Bahmaniar adalah Abu al-Abbas al-Lukriy, seorang ahli ilmu hikmah. Dari dialah ilmu hikmah tersebar di Khurrasan. Dari Abu al-Abbas belajarlah Afdhal al-Din al-Ghailaniy, dan dari Ghailaniy belajarlah Shadruddin al-Sarkhasiy (w. 545 H), dan dari Sarkhasiy belajarlah Farid al-Din al-Nisaburiy. Yang terakhir ini adalah guru dari Nashr al-Din al-Thusi, murid terakhir sekolah Ibnu Sina, pensyarah kitab al-Isyârât karya Ibnu Sina, pembaharu pengajaran filsafat dan matematika dan pemilik kajian keilmuan tempat berkumpulnya banyak pelajar-pelajar ilmu filsafat, teknik dan logika. Al-Thusi wafat pada tahun 672 H, sekolah al-Thusiy berkembang dan memperoleh puncaknya di tangan Mirdamad (1401 H) di Isfahan bersama murid-muridnya.
Apakah ajaran-ajaran Ibnu Sina itu?
Ajaran-ajarannya adalah pengembangan dari pendapat-pendapat al-Farabi. Namun Ibnu Sina mempunyai andil dengan penambahan ungkapan-ungkapan yang lebih luas dan penjelasan-penjelaan yang lebih banyak. Ibnu Sina sendiri sebenarnya lebih sebagai seorang dokter ketimbang sebagai seorang filosof. Bukunya al-Qânûn fi al-Thibb menjadi rujukan dalam ilmu kedokteran di Eropa Latin sampai awal abad XVIII M. Filsafat Ibnu Sina terpengaruh oleh ilmu kedokterannya dalam menciptakan metode eksperimental yang cermat. Sedangkan dalam ilmu filsafat, bukunya yang berjudul al-Syifâ’ dianggap sebagai sebuah ensiklopedia filsafat yang mencakup logika, ilmu alam, matematika dan Ilahiyat, jika diukur dengan apa yang telah disusun oleh Aristoteles atau oleh filsafat peripatetik. Ibnu Sina telah mengikuti guru pertama dan para pensyarahnya dengan menggabungkan berbagai pendapat dan menyerasikannya. Pengaruhnya dalam ilmu mantiq (logika) tidak dapat diingkari, dan tak diragukan lagi bahwa ia bertanggung jawab atas tersebarnya ilmu mantiq dalam bentuknya yang sekarang di dunia Arab. Bukunya yang berjudul al-Bashâ’ir al-Nashîriyah dalam ilmu logika–yang telah di-tahqiq (diedit) dan dipublikasikan oleh Muhammad Abduh sekaligus mengajarkanya—diangap sebagai ringkasan inti dari pandangan-pandangan Ibnu Sina.
Pengaruhnya dalam ilmu Ilahiyyat tidak kurang dibanding dalam ilmu logika. Yang dimaksud dengan ilmu Ilahiyyat adalah apa yang kita namakan sekarang dengan metafisika. Di sini ia berbicara tentang “yang wajib” atau “yang wajib ada”, tentang kebersambungan “being”-“being” dari “yang wajib” itu, juga tentang sebab-sebab. “Yang wajib ada” adalah yang ketika diasumsikan tidak ada, maka akan dikatakan mustahil. “Yang mungkin ada” adalah apa yang jika diasumsikan ada atau tidak ada, maka tidak dikatakan mustahil. Di muka telah kita ketahui bahwa Ibnu Sina telah mendeskripsikan Allah sebagai al-Haq (yang Maha benar), sedangkan al-Farabi mendeskripsikanya sebagai al-Wahid (Yang Satu). Di sini kita melihat pandangan Ibnu Sina yang bersifat eksistensialis dan rasionalis. Allah adalah sesuatu yang wajib ada karena zat-Nya. “Wajib” adalah konsep logika yang berlawanan dengan “mustahil” dan ditengahi dengan “al-mumkin”. Al-Maujûd adalah batu sudut dalam filsafat peripatetik (Aristoteles), sedangkan al-Wâhid adalah, seperti yang kita lihat, berada di atas “al-wujûd” (being) dalam filsafat Plotinus.
Tegasnya perbedaan antara guru kedua (al-Farabi) dan syeikh kepala (Ibnu Sina) adalah bahwa al-Farabi cenderung kepada Platonisme, sedangkan Ibnu Sina lebih condong kepada filsafat peripatetik. Ini bukanlah satu-satunya perbedaan anatar kedua filosof ini dan kedua mazhabnya, karena pada akhir hayatnya, Ibnu Sina menciptakan satu filsafat lain yang berbeda dengan filsafat peripatetik. Ia mrenjelaskan hal itu dalam kitabnya al-Syifâ’ dan al-Najât. Filsafat ini ia namakan filsafat ketimuran, seperti tercermin dalam kitab “al-Isyârât”. Filsafat ketimuran ini bersifat iluminatif dan sufistik.
Al-Ghazali (450-501 H) menulis kitab Tahâfut al-Falâsifah ketika ia melihat banyak pendapat Ibnu Sina yang membahayakan ajaran Islam. Dalam kitab ini al-Ghazali mengkafirkan para filosof dalam 20 masalah, terutama masalah qidam-nya alam, ketidaktahuan Allah terhadap hal-hal yang partikular serta penolakan terhadap kebangkitan. Banyak tuduhan al-Ghazali yang tidak beralasan. Akhirnya filsafat diisolasi dan dimasukkan ke dalam ilmu kalam yang kemudian dinamakan dengan ilmu tauhid. Wallahu a’lam
Palu, 28 April 2010




No comments:
Post a Comment