TEORI NEGARA HUKUM RECHTSTAAT
Pasal 1 ayat (3)
Undang-Undang Dasar Negara Kesatuan
Republik Indonesia Tahun 1945 menyebutkan, bahwa “Negara Indonesia
negara hukum”. Negara hukum dimaksud adalah negara yang menegakan supermasi
hukum untuk menegakan kebenaran dan keadilan dan tidak ada kekuasaan yang tidak
dipertanggungjawabkan.
Berdasarkan uraian di atas yang dimaksud dengan Negara Hukum
ialah negara yang berediri di atas hukum yang menjamin keadilan kepada warga
negaranya. Keadilan merupakan syarat bagi terciptanya kebahagiaan hidup untuk
warga negaranya, dan sebagai dasar dari pada keadilan itu perlu diajarkan rasa
susila kepada setiap manusia agar ia menjadi warga negara yang baik. Demikian
pula peraturan hukum yang sebenarnya hanya ada jika peraturan hukum itu
mencerminkan keadilan bagi pergaulan hidup antar warga negaranya.
Menurut Aristoteles yang memerintah dalam negara bukanlah
manusia sebenarnya, melainkan fikiran yang adil, sedangkan penguasa sebenarnya
hanya pemegang hukum dan keseimbangan saja. Kesusilaan yang akan menentukan
baik tidaknya suatu peraturan undang-undang dan membuat undang-undang adalah
sebagian dari kecakapan menjalankan pemerintahan negara. Oleh karena itu
Menurut, bahwa yang pentinng adalah mendidik manusia menjadi warga negara yang
baik, karena dari sikapnya yang adil akan terjamin kebahagiaan hidup warga
negaranya.
Secara umum, dalam setiap negara yang menganut paham negara
hukum, selalu berlakunya tiga prinsip dasar, yakni supermasi hukum (supremacy
of law), kesetaraan di hadapan hukum (equality before the law), dan penegakan
hukum dengan cara tidak bertentangan dengan hukum (due process of law).
Prinsip penting dalam negara hukum adalah perlindungan yang
sama (equal protection) atau persamaan dalam hukum (equality before the law).
Perbedaan perlakuan hukum hanya boleh jika ada alasan yang khusus, misalnya,
anak-anak yang di bawah umur 17 tahun mempunyai hak yang berbeda dengan
anak-anak yang di atas 17 tahun. Perbedaan ini ada alasan yang rasional. Tetapi
perbedaan perlakuan tidak dibolehkan jika tanpa alasan yang logis, misalnya karena perbedaan warna kulit,
gender agama dan kepercayaan, sekte tertentu dalam agama, atau perbedaan status
seperti antara tuan tanah dan petani miskin. Meskipun demikian, perbedaan
perlakuan tanpa alasan yang logis seperti ini sampai saat ini masih banyak
terjadi di berbagai negara, termasuk di negara yang hukumnya sudah maju
sekalipun.
Menurut Dicey, Bahwa berlakunya Konsep kesetaraan dihadapan hukum (equality before
the law), di mana semua orang harus tunduk kepada hukum, dan tidak seorang pun
berada di atas hukum (above the law).
Istilah due process of law mempunyai konotasi bahwa segala
sesuatu harus dilakukan secara adil. Konsep due process of law sebenarnya
terdapat dalam konsep hak-hak fundamental (fundamental rights) dan konsep
kemerdekaan/kebebasaan yang tertib (ordered liberty).
Konsep due process of law yang prosedural pada dasarnya
didasari atas konsep hukum tentang “keadilan yang fundamental” (fundamental
fairness). Perkembangan , due process of law yang prossedural merupakan suatu
proses atau prosedur formal yang adil, logis dan layak, yang harus dijalankan
oleh yang berwenang, misalnya dengan kewajiban membawa surat perintah yang sah,
memberikan pemberitahuan yang pantas, kesempatan yang layak untuk membela diri
termasuk memakai tenaga ahli seperti pengacara bila diperlukan, menghadirkan
saksi-saksi yang cukup, memberikan ganti rugi yang layak dengan proses
negosiasi atau musyawarah yang pantas, yang harus dilakukan manakala berhadapan
dengan hal-hal yang dapat mengakibatkan pelanggaran terhadap hak-hak dasar manusia,
seperti hak untuk hidup, hak untuk kemerdekaan atau kebebasan (liberty), hak
atas kepemilikan benda, hak mengeluarkan pendapat, hak untuk beragama, hak
untuk bekerja dan mencari penghidupan yang layak, hak pilih, hak
untukberpergian kemana dia suka, hak atas privasi, hak atas perlakuan yang sama
(equal protection) dan hak-hak fundamental lainnya.
Sedangkan yang dimaksud dengan due process of law yang
substansif adalah suatu persyaratan yuridis yang menyatakan bahwa pembuatan
suatu peraturan hukum tidak boleh berisikan hal-hal yang dapat mengakibatkan
perlakuan manusia secara tidak adil, tidak logis dan sewenang-wenang
No comments:
Post a Comment