SEJARAH
HUKUM ACARA PIDANA (HUKUM ITU BERKEMBANG DAN TUMBUH DALAM MASYARAKAT, HUKUM
TIDAK DIBUAT MELAINKAN DITEMUKAN)
I. Pendahuluan
Keadaan sekarang dan masa yang akan datang merupakan satu rangkaian yang tidak
terlepas dan tak terpisahkan satu sama lainnya, maka apabila kita hendak
berbicara tentang pandangan dari hukum, ilmu hukum, perundang-undangan dan
jurisprudensi tak mungkin kiranya bagi kita untuk tidak menggambarkan tentang
pandagan-pandangan tersebut tanpa melihat perkembangan-perkembangan selama
waktu-waktu terakhir dan tanpa melukiskan “de huidige stand” dari hukum
tersebut.
Hukum acara pidana di Indonesia memiliki sejarah panjang sebelum berlakunya
undang-undang no 8 tahun 1981, berlakunya kitab undang-undang hukum acara
pidana dipengaruhi oleh sejarah pada zaman kolonial belanda yang membawa hukum
Eropa kontinental ke Indonesia Pada waktu penjajahan Belanda, Indonesia telah
memiliki lembaga tata negara dan lembaga tata hukum, Telah tercipta hukum yang
lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat.
Pada umumnya pada masyarakat zaman dulu, pertumbuhan hukum yang kemudian
dipisahkan dalam hukum privat dan hukum publik dalam dunia modern tidak
membedakan kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata tidak terpisah dengan
hukum acara pidana, baik di Indonesia maupun di dunia Barat (termasuk Belanda).
Tuntutan pidana dan perdata merupakan satu kesatuan, termasuk
lembaga-lembaganya.
Suatu pembentukan, penyusunan hukum nasional termasuk hukum pidana maupun acaranya
bukanlah usaha sendiri para legislator melainkan perlu disertai dengan
pemikiran-pemikiran sarjana lain, usaha mereka suatu usaha “joint-coorporative”
dan jelas kiranya bahwa para sarjana hukum sendiri akan lebih dapat
menyempurnakan dan menyelesaikan usaha dengan bantuan sarjana lain, sebuah
penyusunan undang-undang perlu mendapat perhatian dari kalangan luas dari para
sarjana hukum yang meliputi para ilmuan hukum dikalangan universitas.
II. permasalahan
1. Bagaimana sejarah penerapan hukum acara pidana sebelum diberlakukannya KUHAP
(kitab undang-undang no 8 tahun 1981) ?
2. Seberapa besar perubahan yang terjadi dalam HIR (het herziene inlandsch
regelement) menjadi KUHAP (kitab undang-undang hukum acara perdata) sehingga
dapat mengikuti perubahan masyarakat sosial yang dinamis?
3. Analisis
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
Sebelum masa kolonial belanda (sebelum abad 16)
Sebelum masuknya hukum islam para penduduk tidak mengenal dengan adanya hukum
pidana dan perdata, penduduk indonesia menggunakan hukum adat untuk
menyelesaikan permasalahan-permasalahan pidana maupun perdata baik di Indonesia
maupun di dunia barat (Belanda) tuntutan pidana merupakan satu kesatuan
termasuk lembaga-lembaganya dan cara pembuktiannya yang sering digunakanpun
dengan menggunakan cara-cara mistis.
Sebenarnya lembaga seperti jaksa atau penuntut umum adalah lembaga baru. Tidak
terdapat pada masyarakat zaman dulu. Perancis biasa disebut orang sebagai
tempat kelahiran lembaga itu. Disebutkan bahwa istilah jaksa sendiri yang
berasal dari bahasa Sansekerta Adhyaksa yang artinya sama dengan hakim pada
jaman sekarang ini. Di Belanda pun dulu belum dikenal istilah officer van
justitie Pada awalnya dikenal dengan istilah Schout disana yang khusus menuntut
pidana. Begitu pula di Inggris, baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri
sendiri yang disebut CPS. Dahulu hanya ada Crown Prosecutor yang khusus
menuntut jika ada kepentingan raja di dalam perkara.
Seseorang bisa dinyatakan bersalah apabila dia dianggap mengganggu keseimbangan
yang ada dalam masyarakat adat tersebut, entah keseimbangan yang berhubungan
dengan sesama manusia ataupun dengan alam. Manusia beserta makhluk yang lain
dengan lingkungannya merupakan kesatuan. Supomo menunjukkan bahwa pandangan
rakyat Indonesia mengenai alam semesta merupakan suatu totalitas, manusia
beserta mahkluk yang lain dengan lingkungannya merupakan satu kesatuan alam
gaib dan alam nyata tidak dipisahkan.
Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan
harmonis yang satu dengan yang lain. Segala perbuatan yang menggangu
keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum (adat), Pada tiap pelanggaran
hukum para penegak hukum mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang
terganggu itu. Mungkin hanya berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu.
Sedangkan untuk pembuktiannya seringkali didasarkan pada apa yang namannya
kekuasaan, kehendak tuhan sampai ri ule bawi (kedua kaki dan tangannya diikat
lalu diselipkan sebilah bambu) dan dibawa keliling kampung untuk
dipertunjukkan.
Bentuk-bentuk sanksi adat terdahulu dihimpun didalam Pandecten van het
adatrecht bagian X yaitu sebagai berikut :
1. Pengganti kerugian “immaterial” dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi
gadis yang telah dicemarkan;
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti
sebagai pengganti kerugian kerohanian;
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4. Penutup malu, permintaan maaf;
5. Berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum.
Setelah masuknya agama islam
Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam, disamping
hukum Adat untuk menyelesaikan masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini,
mulai diadakan pembedaan antara masalah pidana dan masalah perdata. Cara
penyelesaian sengketa seringkali berpedoman kepada Al Quran, hadits dan hasil
ijtihad.
Periode kolonial belanda
Pada tahun 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang
menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka,
Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada,
cengkeh, pala dari Sumatra dan Maluku. Pada tahun 1512, D`Albuquerque mengirim
sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu
mereka singgah di Banten, Sunda kelapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan
nahkoda-nahkoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku
Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.
Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis
memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor.
Dengan semboyan “gospel, glory, and gold” mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik,
terutama di Maluku. Waktu itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata
rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai setengah
dunia ini (separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam
Perjanjian Tordesillas tahun 1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan
Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui
Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa)
dikuasai Spanyol.
Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan
jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada
1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre
membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh
Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan
selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di
Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.
pada tahun 1602 dibentuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada masa
tersebut orang-orang diterapkan tentang hukum kapal (scheepsrecht) yang terdiri
dari hukum Belanda kuno dengan asas-asas hukum Romawi dan kemudian dibentuk
plakat-plakat dan dihimpun menjadi 17 jilid sedangkan untuk orang Indonesia
atau bumi putera diterapkan hukum adat (hukum tidak tertulis), Tahun 1642,
gubernur Jend. Van diemen memerintahkan menghimpun seluruh plakat dengan nama
statuen van Batavia
Sebenarnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1747 telah
mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan
tentang Javasche wetten (undang-undang jawa), hal itu juga diteruskan oleh
Daendels dan Raffles untuk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya, akan
tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut maka usaha ini ditangguhkan.
Sebelum berlakunya perundang-undangan baru di negeri Belanda yaitu pada tahun
1836, Scholten van Oud-haarlem telah menyatakan kesediaannya untuk
mempersiapkan perundang-undangan baru di Hindia Belanda disamping jabatannya
sebagai Presiden Hooggrechshof, ia memangku jabatan itu pada tahun 1837 dan
bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr. P. Mijer ia diangkat oleh gubernur
jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundang-undangan baru
di hindia belanda.
Belanda baru saja terlepas penjajahan dari Negara Prancis pada Tahun 1838 yang
pada waktu itu golongan legis memandang bahwa semua peraturan seharusnya dalam
bentuk undang-undang sangatlah kuat berlaku ketentuan pada saat itu, yaitu
ketentuan yang tertulis dan dibuat dengan sengaja
Pada tahun 1838 Scholten van Oud-Harlem dikembalikan ke negeri belanda untuk
menggantikan panitia di Hindia belanda, pada tahun 1839 dibentuk kembali
panitia baru oleh menteri jajahan Van den bosch. Hasil dari karyanya adalah
sebuah rancangan peraturan tata peradilan sebuah rancangan kitab undang-undang
hukum perdata dan kitab undang-undang hukum dagang, di Hindia belanda rancangan
undang-undang tentang tata peradilan itu diolah lagi oleh J.Van der Vinne, Mr.
Hoogeveen, Mr. Hultman dan Mr. Visscher.
pada waktu dibubarkannya panitia Scholten di negeri Belanda pada tahun 1845.
Mr. H.L. Wichers diangkat oleh raja sebagai Presiden Hooggerechtshof di hindia
belanda merangkap komisaris khusus mengatur mulai berlakunya undang-undang itu.
Adapun ketentuan-ketentuan yang dibuat sesuai dengan perintah raja Belanda pada
tangal 16 Mei 1846 Nomor 1 pada saat itu adalah :
1. ketentuan umum tentang perundang-undangan (AB);
2. peraturan tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan pengadilan (RO);
3. kitab undang-undang hukum perdata (BW);
4. kitab undang-undang hukum dagang (WvK).
Dalam perkembangannya kemudian sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal beberapa
kodifikasi peraturan hukum acara pidana yaitu :
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O) yang mengatur tentang susunan
organisasi kehakiman dan kebijaksanaan mengadili;
2. Inladsch Reglement (I.R) yang mengatur tentang hukum acara perdata dan hukum
acara pidana di depan persidangan landraad bagi mereka yang tergolong penduduk
Indonesia dan timur asing dan hanyalah berlaku bagi daerah jawa dan madura yang
diterapkan ketentuan Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg, Stb.927-227);
3. Reglement op de Strafvordering (Stb.1849 No 63) mengatur tentang ketentuan hukum
acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan;
4. Landgerechtsreglement yang mengatur tentang acara didepan pengadilan
landgerecht dan mengadili perkara-perkara sumir (kecil) untuk semua golongan
penduduk.
Ketentuan yang mengatur tentang hukum acara pidana tersebut mulai
dipublikasikan pada tanggal 3 April 1848 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848
yang diperuntukkan untuk golongan bumi putera daerah Jawa dan madura sedangkan
untuk daerah luar daerah tersebut diberlakukan peraturan yang berbeda dalam
bentuk Ordonansi-ordonanasi antara lain :
1. ordonanasi tanggal 26 maret 1874 (Stb. 94 b), Gubernur Sumatera Barat;
2. Ordonanasi tanggal 2 Februari 1880 (Stb.32), Residen Bengkulu;
3. Ordonanasi tanggal 25 Januari 1879 (Stb.65), Residen Lampung;
4. Ordonansi tanggal 8 Januari 1878 (Stb.14), Residen Palembang;
5. Ordonansi tanggal 8 Juli 1906 (Stb.320), Residen Jambi;
6. Ordonansi tanggal 21 Februari 1887 (Stb.45), Residen Sumatera;
7. Ordonansi tanggal 14 Maret 1881 (Stb.82), Residen Aceh;
8. Ordonansi tanggal 15 Maret 1882 ( Stb.84), Residen Riau;
9. Ordonansi tanggal 30 Januari 1874 (Stb.33), Residen Bangka;
10. Ordonansi tanggal 23 Agustus 1889 (Stb.183), Asisten Residen Belitung;
11. Ordonansi tanggal 1 Februari 1883 (Stb.53), Residen Kalimantan Barat;
12. Ordonansi tanggal 5 Maret 1880 (Stb.55), Residen Kalimantan selatan dan
timur;
13. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.27), Residen Menado;
14. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.22), Residen Gubernur Sulawesi;
15. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.29), Residen Maluku;
16. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.32), Residen Ternate;
17. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.25), Residen Timor;
18. Ordonansi tanggal 21 Mei 1882(Stb.142), Residen Bali dan Lombok.
18 Ordonansi tersebut kemudian dihimpun dan dijadikan satu dengan nama
Recht-reglement buitengewesten (Reglement Daerah Seberang, Stb. 1927-227),
dalam perkembangan selanjutnya Gubernur Jendral Rochussen masih memiliki
kekhawatiran terhadap diberlakukannya Reglemen tersebut bagi orang Bumi putera,
sehingga Reglemen tersebut masih dalam percobaan.
Mr.Wichers mengadakan beberapa perbaikan terhadap anjuran Gubernur tersebut dan
terjadi beberapa kali perubahan sampai akhirnya dengan Sbld 1941 Nomor 44
diumumkan kembali dengan nama Herziene Inlands Regelement atau HIR, dan bagian
yang terpenting adalah adanya perubahan-perubahan yang tidak sedikit hal ini
dapat dilihat dalam aspek-aspek yaitu :
1. Dalam IR belum ada badan penuntut umum tersendiri, dalam HIR sudah ada
meskipun belum volwaardigh;
2. Regen, patih dan kepala afdeeling (Residen atau asisten Residen dalam IR
adalah Penyidik dalam HIR tidak);
3. Penahanan sementara yang untuk itu dalam sistem IR tidak diharuskan
syarat-syarat tertentu, menurut HIR harus selalu ada perintah tertulis;
4. Kurungan sementara atas perintah asisten-Residen (menurut sistem lama)
diganti dengan penangkapan (gevangenhouding) selama 30 hari, yang jika perlu
setiap kali dapat diperpanjang untuk 30 hari oleh ketua landraad;
5. Baik penahan sementara maupun penangkapan hanya diperbolehkan pada tindak
pidana yang berat-berat (yang diancam dengan pidana penjara selama 5 tahu atau
dipidana yang lebih berat pasal 62 HIR;
6. Untuk penggeledahan rumah pada umumnya diperlukan izin ketua landraad,
kecuali dalam hal tertangkap tangan dan dalam hal mendesak sekali, Pasal 77 dan
78 HIR;
7. Wewenang untuk menyita barang yang dapat dijadikan alat bukti diberikan
kepada pegawai penuntut umum yang dalam HIR diatur khusus dalam pasal.
Hal-hal diatas tersebut perlu di garis bawahi bahwa dalam HIR muncullah lembaga
penuntut umum tidak lagi dibawah pamongpraja tetapi secara bulat dan tidak
terpisah-pisah dibawah officer van justitie dan procuceur general.
Sejalannya dengan praktek diberlakukannya HIR di Jawa dan madura eksistensi IR
masih sering digunakan dan diberlakukan, HIR berlaku dikota-kota besar seperti
Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang dan lain-lain sedangkan kota-kota
lain berlaku IR.
Periode kependudukan Jepang
Pada zaman kependudukan Jepang perundang-undangan hukum acara pidana Indonesia
tidak terjadi banyak perubahan seperti yang diatur dalam pasal 6 UU no 14 tahun
1942 yang berbunyi “ hukum acara pidana masa sebelumnya masih dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak diatur oleh peraturan lain” kecuali hapusnya Raad van
justitie sebagai pengadilan golongan Eropa.
Dengan undang-undang Osamu Sirei no 4 tahun 1942 yang berlaku mulai tanggal 7
Maret 1942 maka ditetapkan semua putusan pengadilan harus memakai kepada Atas
Nama Jendral Balatentara perubahan ini berlaku pula terhadap semua badan
peradilan dari pemerintahan Hindia Belanda kecuali Residentiegerecht
(dihapuskan dengan Osamu Sirei No 4 tahun 1942) dan susunan nama pengadilannya
diganti. Setelah diberlakukannya undang-undang no 34 tahun 1942 maka
undang-undang no 14 tahun 1942 dicabut yang kemudian dikenal adanya Kootoo
Hooin yang merupakan pengadilan tinggi dan kelanjutan dari Raad Van Justitie
dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung) yang merupakan kelanjutan dari
Hooggerechtshof.
Semua badan peradilan pada zaman ini diterapkan hukum acara pidana dengan
menggunakan ketentuan Het Herziene Inlndsch Reglement (HIR, Stb 1941 No 44)
kecuali untuk Keizai Hooin yang menggunakan ketentuan Landgerechtreglement
(Stb. 1914 No 137 jo Stb 1917 No. 323), sedangkan Kootoo Hooin dan Saikoo Hoin
hukum acara pidananya diterapkan oleh Raad van justitie dan Hooggerechtshof
yang mengacu kepada Reglement op de Strafvordering (Stb. 1849 No 63), pada
tingkat banding diatur dalam Osumei Seihi No 1573 tahun 1942, semua putusan
pengadilan rendahan pada pokoknya dapat dimintakan banding pada Kootoo Hooin.
1. Periode 17 Agustus 1945
Pada saat proklamasi kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia yang
merdeka dan berdaulat, tetapi dengan kemerdekaan Indonesia tidak serta merta
mengganti peraturan-peraturan yang telah diterapkan di Indonesia ini terlihat
pada pasal II aturan peralihan Undang-undang dasar 1945 disebutkan bahwa :
“segala badan Negara da peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan
yang baru menurut undang-undang ini”
yang kemudian dipertegas dengan peraturan presiden No 2 tanggal 10 Oktober 1945
pada pasal 1 yang menyebutkan :
“segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya
Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut
undang-undang dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan
undang-undang dasar tersebut”.
Pada masa ini mengenai hukum acara telah lahir 2 undang-undang untuk
melaksanakan peradilan umum yakni undang-undang no 20 tahun 1947 tentang
peradilan ulangan di Jawa dan Madura serta undang-undang no 21 tahun 1947
tentang pemeriksaan perkara pidana diluar hadirnya terdakwa. Konsekwensi yang
diakibatkan terbentuknya Undang-undang no 20 tahun 1947 adalah tidak berlakunya
peraturan peradilan ulangan yang dimuat dalam Osamu Seihi no 1573 tahun 1942
yang berlaku pada masa balatentara Jepang.
Selain itu juga pada periode kemerdekaan hukum acara pidana yang telah
diterapkan pada praktik peradilan cukup variatif dalam artian diberlakukannya
Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR, Stb 1941 No 44), Reglement op de
Buitengewesten (RBg Stb 1927 No 227) dan Landgerechtsreglement (Stb 1914 no 317
jo Stb 1917 no 323).
Namun keberlakuan hal tersebut tidak berlangsung lama dengan dibentuknya
Republik Indonesia Serikat (RIS), istilah Hooggerechtshof diganti menjadi
Mahkamah Agung (UU no 1 tahun 1950; LN 1950 no 30), kemudian landgerecht dan
Appelraad diganti menjadi pengadilan negeri dan pengadilan tinggi (UU Drt No 18
tahun 1950 (LN 1950 no 27) tanggal 18 April 1950.
3.2 PEMBENTUKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
Penggunaan istilah “hukum acara pidana” sudah merupakan pemilihan yang tepat
dibandingkan dengan “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana di negara
Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan adalah
“tuntutan Pidana” oleh karena itu menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah istilah
Inggris Criminal prosedure law lebih tepat daripada istilah Belanda.
Ada istilah lagi yang pernah popular di Indonesia yaitu criminal justice system
yang diterjemahkan menjadi sistem peradilan pidana, dan juga “sistem peradilan
pidana terpadu” sebagai salinan istilah integrated criminal justice system
Prof. Mochtar Kusumaatmadja pernah merencanakan mengganti mata kuliah hukum
acara pidana menjadi sistem peradilan pidana yang kemudian dibagi dua yaitu
sistem peradilan pidana Indonesia dan sistem peradilan umum. Tetapi perlu
diingat kalau penggunaan istilah “sistem peradilan pidana” itu sangatlah luas
ruang lingkupnya dibandingkan dengan “hukum acara pidana” karena ruang
lingkupnya hanya meliputi mencari kebenaran,penyelidikan, penyidikan dan
berakhir pada pelaksanaan pidana oleh jaksa.
KUHAP (kitab Undang-undang hukum acara perdata) tidak memberikan definisi
tentang hukum acara pidana tetapi memberikan definisi akan bagian-bagian atau
tahapan-tahapannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan,
putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, dan
lain sebagainya, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar
hukum antara lain :
1. Minkenhoft : hukum acara pidana adalah sejak dimulainya penyidikan, dan
mempunyai peraturan mengenai terjadinya antara saat timbulnya dugaan bahwa
suatu delik telah dilakukan dan dilaksankannya pidana yang dijatuhkan kepada
terdakwa;
2. Van Bemmelen : hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang
diciptakan oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana;
3. Wirjono Prodjodikoro : hukum acara berhubungan era dengan adanya hukum
pidana maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara
bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan
pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum
pidana.
Dengan terbentuknya KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana) yang
berfungsi untuk menjalankan hukum acara pidana substansif (materiil) dan
mengatur tentang bagaimana Negara melalui perangkatnya melaksanakan haknya
untuk menjatuhkan pidana, menurut Van Bemmelen ia mengemukakan tiga fungsi
hukum acara pidana antara lain sebagai berikut :
1. Mencari dan mengemukakan kebenaran
2. Pemberian keputusan oleh hakim
3. Pelaksanaan keputusan
maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang
lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal sampai pada kasasi
(pembatalan) di Mahkamah Agung bahkan sampai kepada PK ( peninjauan kembali).
Tujuan dari hukum acara pidana yang pernah dikeluarkan oleh menteri Kehakiman :
“Tujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran
materill ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan
menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan
untuk mencari suapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suaru pelanggaran
hukum dan selanjurnya meminta pemerikasaan dan putusan dari pengadilan guna
menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pudana telah dilakukan dan apakah
orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.
Dahulu KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana) disebut dengan inlandsch
reglement (IR) yang kemudian menjadi Herziene Inlandsch Regelement (HIR) yang
pada mulanya hanya berlaku dipulau jawa dan madura dan hanya meliputi
pemeriksaan dipengadilan tingkat pertama yaitu landraad yang tidak memiliki
peraturan mengenai acara banding dan kasasi.
Sesudah kita merdeka dengan undang-undang nomor 1 (drt) tahun 1951 (LN No. 9
tahun 1951) mulai terbentuk sejak Negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950
dan sekaligus menghilangkan dualisme struktur pengadilan dan praperadilan
Indonesia seperti yang telah disinggung diatas, terjadinya unifikasi hukum
untuk melaksanakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara semua pengadilan negeri
dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia dan berdasarkan pasal 1 telah
menghapuskan dan tidak memberlakukan lagi 9 badan peradilan yang berlaku pada
masa sebelumnya.
Terjadinya unifikasi hukum terhadap ketentuan hukum acara pidana cukup
bervariasi hal ini berdasarkan ketentuan pasal 6 undang-undang tersebut
ditegaskan bahwa untuk acara pidana sipil terhadap semua pengadilan negeri dan
alat penuntut umum dan pengadilan tinggi masih diterapkan ketentuan yang diatur
didalam HIR (Herziene Inlandsch Regelement ) sedangkan hukum acara pidana
terhadap perkara ringan diterapkan Landgerechtsreglement, dan untuk banding
diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 20 UU no 1 Drt tahun 1951.
Setelah orde baru terbukalah kesempatan besar untuk membangun disegala aspek
kehidupan dan tidak lepas yang diperhatikan adalah pembangunan dibidang hukum,
banyaknya undang-undang telah dibuat dan diperuntukkan untuk mengganti
undang-undang zaman kolonial Belanda, suatu undang-undang hukum acara pidana
nasional yang modern yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai
dan bercirikan dengan pancasila dan Undang-undang dasar 1945.
Undang-undang dasar 1945 menjelaskan secara tegas bahwa Negara Indonesia
berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, hal itu berarti
Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga
Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pembentukan IR (Inlands reglement)
yang kemudian dirubah menjadi HIR (Herziene Inlandsch Regelement) yang merupakan
usaha Belanda membenahi peraturan hukumnya setelah terlepas dari Negara
Prancis, dan berdasarkan asas konkordansi maka perundang-undangan yang
diciptakan oleh belanda diterapkan atau diberlakukan di Indonesia.
Sewaktu Oemar Seno Adji menjabat menteri Kehakiman ia membentuk suatu tim di
departemen kehakiman untuk membuat atau menyusun tentang hukum acara pidana,
dan setelah beberapa kurun waktu penyusunan itu berhasil yang sesuai dengan
seminar hukum nasional yang diadakan di Semarang pada tahun 1968, setelah Oemar
Seno Adji digantikan kedudukannya oleh Mochtar Kusumaatmadja pada tahun 1974 ia
melakukan penyempurnaan dan terjadi pembahasan oleh instansi yang berwenang
yang kemudian diteruskan oleh Moedjono yang di intensifkan pada tahun 1979 yang
diadakan pertemuan antara menteri kehakiman, jaksa agung dan beberapa instansi
untuk membahas perencanaan tersebut.
Setelah rancangan tersebut dibahas di Komisi III dan I DPR yang memiliki tim
khusus yaitu tim sinkronisasi yang akhirnya membuahkan suatu persembahan suatu
rancangan yang telah disetujui oleh sidang gabungan dimuka pada tanggal 9
september 1981, akan tetapi setelah 19 tahun berlakunya KUHAP tidak ada
tanda-tanda untuk melakukan peninjauan kembali akan suatu tindak pidana khusus
yang telah dicantumkan di dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP. Sampai dengan
disahkannya rancangan undang-undang didalam sidang paripurna DPR tanggal 23
Sepember 1981 yang kemudian KUHAP (kitab Undang-undang hukum acara pidana)
sebagai suatu karya agung disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang tanggal
31 September 1981.
Kesimpulan
1. bahwa perkembangan hukum acara perdata dan hukum acara pidana berawal dari
hukum adat setempat (Indonesia) yang dikumpulkan oleh Belanda dan ditambah
dengan hukum yang dibuat oleh belanda yang kemudian dikodifikasikan dan
dijadikan perundang-undangan di Indonesia, Dalam perkembangannya kemudian
sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi peraturan hukum
acara pidana yaitu :
a. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O) yang mengatur tentang susunan
organisasi kehakiman dan kebijaksanaan mengadili;
b. Inladsch Reglement (I.R) yang mengatur tentang hukum acara perdata dan hukum
acara pidana di depan persidangan landraad bagi mereka yang tergolong penduduk
Indonesia dan timur asing dan hanyalah berlaku bagi daerah jawa dan madura yang
diterapkan ketentuan Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg, Stb.927-227);
c. Reglement op de Strafvordering (Stb.1849 No 63) mengatur tentang ketentuan
hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang
dipersamakan;
d. Landgerechtsreglement yang mengatur tentang acara didepan pengadilan
landgerecht dan mengadili perkara-perkara sumir (kecil) untuk semua golongan
penduduk.
2. pembentukan panitia di departemen kehakiman untuk menyusun RUU Hukum Acara
Pidana. Ada 13 pokok masalah yang dituangkan dalam materi undang-undang. Dalam
perancangannya, hukum acara pidana Indonesia didasarkan pada HIR. Awalnya
dibentuk panitia yang diketuai Oemar Seno Adji;1968 yang berhasil menyusun Rencana
UU Hukum Acara Pidana. Kemudian disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang
menggantikan Oemar Seno adjie menjadi menteri kehakiman,1974. Lalu diteruskan
oleh Moedjono.
Tim Sinkronisasi kemudian menciptakan RUU KUHAP yang disetujui sidang gabungan
tim bersama-sama dengan DPR di gedung DPR Pusat pada tanggal 9 september1981
Hal-hal signifikan yang perlu diperhatikan dalam RUU KUHAP tahap akhir, ialah:
a. hilangnya kewenangan Kejaksaan (seperti yang tercantum dalam HIR) untuk
menyidik.
b. diadakannya perubahan KUHAP dalam kurun waktu dua tahun setelah pengesahan
KUHAP(pasal284ayat(2)).
RUU KUHAP disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981,
dan kemudian disahkan oleh presiden menjadi undang-undang pada tanggal 31
Desember 1981. Sejak saat itulah kita memakai Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Pidana (Undang-undang No:8/1981,LN 1981 Nomor 76,TLN Nomor 3209) sebagai
pedoman yang mengatur acara peradilan pidana.
3. Bahwa perkembangan hukum di Indonesia sesuai dengan ajaran Von Savigny ”hukum
itu berkembang dalam sejarah, dimana hukum itu ditemukan tidak dibuat”
No comments:
Post a Comment