Wednesday, June 26, 2013

Sejarah Hukum Acara Pidana

SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA (HUKUM ITU BERKEMBANG DAN TUMBUH DALAM MASYARAKAT, HUKUM TIDAK DIBUAT MELAINKAN DITEMUKAN)

I. Pendahuluan

Keadaan sekarang dan masa yang akan datang merupakan satu rangkaian yang tidak terlepas dan tak terpisahkan satu sama lainnya, maka apabila kita hendak berbicara tentang pandangan dari hukum, ilmu hukum, perundang-undangan dan jurisprudensi tak mungkin kiranya bagi kita untuk tidak menggambarkan tentang pandagan-pandangan tersebut tanpa melihat perkembangan-perkembangan selama waktu-waktu terakhir dan tanpa melukiskan “de huidige stand” dari hukum tersebut.
Hukum acara pidana di Indonesia memiliki sejarah panjang sebelum berlakunya undang-undang no 8 tahun 1981, berlakunya kitab undang-undang hukum acara pidana dipengaruhi oleh sejarah pada zaman kolonial belanda yang membawa hukum Eropa kontinental ke Indonesia Pada waktu penjajahan Belanda, Indonesia telah memiliki lembaga tata negara dan lembaga tata hukum, Telah tercipta hukum yang lahir dari masyarakat tradisional sendiri yang kemudian disebut hukum adat. 
Pada umumnya pada masyarakat zaman dulu, pertumbuhan hukum yang kemudian dipisahkan dalam hukum privat dan hukum publik dalam dunia modern tidak membedakan kedua bidang hukum itu. Hukum acara perdata tidak terpisah dengan hukum acara pidana, baik di Indonesia maupun di dunia Barat (termasuk Belanda). Tuntutan pidana dan perdata merupakan satu kesatuan, termasuk lembaga-lembaganya.
Suatu pembentukan, penyusunan hukum nasional termasuk hukum pidana maupun acaranya bukanlah usaha sendiri para legislator melainkan perlu disertai dengan pemikiran-pemikiran sarjana lain, usaha mereka suatu usaha “joint-coorporative” dan jelas kiranya bahwa para sarjana hukum sendiri akan lebih dapat menyempurnakan dan menyelesaikan usaha dengan bantuan sarjana lain, sebuah penyusunan undang-undang perlu mendapat perhatian dari kalangan luas dari para sarjana hukum yang meliputi para ilmuan hukum dikalangan universitas.
                                                                                                                                                                                                                                                                                
II. permasalahan
1. Bagaimana sejarah penerapan hukum acara pidana sebelum diberlakukannya KUHAP (kitab undang-undang no 8 tahun 1981) ?
2. Seberapa besar perubahan yang terjadi dalam HIR (het herziene inlandsch regelement) menjadi KUHAP (kitab undang-undang hukum acara perdata) sehingga dapat mengikuti perubahan masyarakat sosial yang dinamis?

3. Analisis 
SEJARAH PERKEMBANGAN HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA
Sebelum masa kolonial belanda (sebelum abad 16)
Sebelum masuknya hukum islam para penduduk tidak mengenal dengan adanya hukum pidana dan perdata, penduduk indonesia menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahan pidana maupun perdata baik di Indonesia maupun di dunia barat (Belanda) tuntutan pidana merupakan satu kesatuan termasuk lembaga-lembaganya dan cara pembuktiannya yang sering digunakanpun dengan menggunakan cara-cara mistis.
Sebenarnya lembaga seperti jaksa atau penuntut umum adalah lembaga baru. Tidak terdapat pada masyarakat zaman dulu. Perancis biasa disebut orang sebagai tempat kelahiran lembaga itu. Disebutkan bahwa istilah jaksa sendiri yang berasal dari bahasa Sansekerta Adhyaksa yang artinya sama dengan hakim pada jaman sekarang ini. Di Belanda pun dulu belum dikenal istilah officer van justitie Pada awalnya dikenal dengan istilah Schout disana yang khusus menuntut pidana. Begitu pula di Inggris, baru tahun 1986 diciptakan lembaga berdiri sendiri yang disebut CPS. Dahulu hanya ada Crown Prosecutor yang khusus menuntut jika ada kepentingan raja di dalam perkara.
Seseorang bisa dinyatakan bersalah apabila dia dianggap mengganggu keseimbangan yang ada dalam masyarakat adat tersebut, entah keseimbangan yang berhubungan dengan sesama manusia ataupun dengan alam. Manusia beserta makhluk yang lain dengan lingkungannya merupakan kesatuan. Supomo menunjukkan bahwa pandangan rakyat Indonesia mengenai alam semesta merupakan suatu totalitas, manusia beserta mahkluk yang lain dengan lingkungannya merupakan satu kesatuan alam gaib dan alam nyata tidak dipisahkan.
Menurut alam pikiran itu, yang paling utama ialah keseimbangan atau hubungan harmonis yang satu dengan yang lain. Segala perbuatan yang menggangu keseimbangan tersebut merupakan pelanggaran hukum (adat), Pada tiap pelanggaran hukum para penegak hukum mencari bagaimana mengembalikan keseimbangan yang terganggu itu. Mungkin hanya berupa pembayaran keseimbangan yang terganggu itu. Sedangkan untuk pembuktiannya seringkali didasarkan pada apa yang namannya kekuasaan, kehendak tuhan sampai ri ule bawi (kedua kaki dan tangannya diikat lalu diselipkan sebilah bambu) dan dibawa keliling kampung untuk dipertunjukkan.
Bentuk-bentuk sanksi adat terdahulu dihimpun didalam Pandecten van het adatrecht bagian X yaitu sebagai berikut :
1. Pengganti kerugian “immaterial” dalam berbagai rupa seperti paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan;
2. Bayaran “uang adat” kepada orang yang terkena, yang berupa benda yang sakti sebagai pengganti kerugian kerohanian;
3. Selamatan (korban) untuk membersihkan masyarakat dari segala kotoran gaib;
4. Penutup malu, permintaan maaf;
5. Berbagai rupa hukuman badan, hingga hukuman mati;
6. Pengasingan dari masyarakat serta meletakkan orang diluar tata hukum.
Setelah masuknya agama islam
Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam, disamping hukum Adat untuk menyelesaikan masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini, mulai diadakan pembedaan antara masalah pidana dan masalah perdata. Cara penyelesaian sengketa seringkali berpedoman kepada Al Quran, hadits dan hasil ijtihad.

Periode kolonial belanda
Pada tahun 1511, Portugis berhasil menguasai Malaka, sebuah emporium yang menghubungkan perdagangan dari India dan Cina. Dengan menguasai Malaka, Portugis berhasil mengendalikan perdagangan rempah-rempah seperti lada, cengkeh, pala dari Sumatra dan Maluku. Pada tahun 1512, D`Albuquerque mengirim sebuah armada ke tempat asal rempah-rempah di Maluku. Dalam perjalanan itu mereka singgah di Banten, Sunda kelapa, dan Cirebon. Dengan menggunakan nahkoda-nahkoda Jawa, armada itu tiba di Kepulauan Banda, terus menuju Maluku Utara, akhirnya tiba juga di Ternate.
Di Ternate, Portugis mendapat izin untuk membangun sebuah benteng. Portugis memantapkan kedudukannya di Maluku dan sempat meluaskan pendudukannya ke Timor. Dengan semboyan “gospel, glory, and gold” mereka juga sempat menyebarkan agama Katolik, terutama di Maluku. Waktu itu, Nusantara hanyalah merupakan salah satu mata rantai saja dalam dunia perdagangan milik Portugis yang menguasai setengah dunia ini (separuh lagi milik Spanyol) sejak dunia ini dibagi dua dalam Perjanjian Tordesillas tahun 1493. Portugis menguasai wilayah yang bukan Kristen dari 100 mil di sebelah barat Semenanjung Verde, terus ke timur melalui Goa di India, hingga kepulauan rempah-rempah Maluku. Sisanya (kecuali Eropa) dikuasai Spanyol.
Sejak dasawarsa terakhir abad ke-16, para pelaut Belanda berhasil menemukan jalan dagang ke Asia yang dirahasiakan Portugis sejak awal abad ke-16. Pada 1595, sebuah perusahaan dagang Belanda yang bernama Compagnie van Verre membiayai sebuah ekspedisi dagang ke Nusantara. Ekpedisi yang dipimpin oleh Cornelis de Houtman ini membawa empat buah kapal. Setelah menempuh perjalanan selama empat belas bulan, pada 22 Juni 1596, mereka berhasil mendarat di Pelabuhan Banten. Inilah titik awal kedatangan Belanda di Nusantara.
pada tahun 1602 dibentuk VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada masa tersebut orang-orang diterapkan tentang hukum kapal (scheepsrecht) yang terdiri dari hukum Belanda kuno dengan asas-asas hukum Romawi dan kemudian dibentuk plakat-plakat dan dihimpun menjadi 17 jilid sedangkan untuk orang Indonesia atau bumi putera diterapkan hukum adat (hukum tidak tertulis), Tahun 1642, gubernur Jend. Van diemen memerintahkan menghimpun seluruh plakat dengan nama statuen van Batavia
Sebenarnya VOC (Vereenigde Oostindische Compagnie) pada tahun 1747 telah mengatur organisasi peradilan pribumi di pedalaman, yang langsung memikirkan tentang Javasche wetten (undang-undang jawa), hal itu juga diteruskan oleh Daendels dan Raffles untuk menyelami hukum adat sepanjang pengetahuannya, akan tetapi dengan kejadian di negeri Belanda tersebut maka usaha ini ditangguhkan.
Sebelum berlakunya perundang-undangan baru di negeri Belanda yaitu pada tahun 1836, Scholten van Oud-haarlem telah menyatakan kesediaannya untuk mempersiapkan perundang-undangan baru di Hindia Belanda disamping jabatannya sebagai Presiden Hooggrechshof, ia memangku jabatan itu pada tahun 1837 dan bersama dengan Mr. van Vloten dan Mr. P. Mijer ia diangkat oleh gubernur jendral de Eerens sebagai panitia untuk mempersiapkan perundang-undangan baru di hindia belanda.
Belanda baru saja terlepas penjajahan dari Negara Prancis pada Tahun 1838 yang pada waktu itu golongan legis memandang bahwa semua peraturan seharusnya dalam bentuk undang-undang sangatlah kuat berlaku ketentuan pada saat itu, yaitu ketentuan yang tertulis dan dibuat dengan sengaja
Pada tahun 1838 Scholten van Oud-Harlem dikembalikan ke negeri belanda untuk menggantikan panitia di Hindia belanda, pada tahun 1839 dibentuk kembali panitia baru oleh menteri jajahan Van den bosch. Hasil dari karyanya adalah sebuah rancangan peraturan tata peradilan sebuah rancangan kitab undang-undang hukum perdata dan kitab undang-undang hukum dagang, di Hindia belanda rancangan undang-undang tentang tata peradilan itu diolah lagi oleh J.Van der Vinne, Mr. Hoogeveen, Mr. Hultman dan Mr. Visscher.
pada waktu dibubarkannya panitia Scholten di negeri Belanda pada tahun 1845. Mr. H.L. Wichers diangkat oleh raja sebagai Presiden Hooggerechtshof di hindia belanda merangkap komisaris khusus mengatur mulai berlakunya undang-undang itu. Adapun ketentuan-ketentuan yang dibuat sesuai dengan perintah raja Belanda pada tangal 16 Mei 1846 Nomor 1 pada saat itu adalah :
1. ketentuan umum tentang perundang-undangan (AB);
2. peraturan tentang susunan pengadilan dan kebijaksanaan pengadilan (RO);
3. kitab undang-undang hukum perdata (BW);
4. kitab undang-undang hukum dagang (WvK).
Dalam perkembangannya kemudian sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi peraturan hukum acara pidana yaitu :
1. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O) yang mengatur tentang susunan organisasi kehakiman dan kebijaksanaan mengadili;
2. Inladsch Reglement (I.R) yang mengatur tentang hukum acara perdata dan hukum acara pidana di depan persidangan landraad bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan timur asing dan hanyalah berlaku bagi daerah jawa dan madura yang diterapkan ketentuan Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg, Stb.927-227);
3. Reglement op de Strafvordering (Stb.1849 No 63) mengatur tentang ketentuan hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan;
4. Landgerechtsreglement yang mengatur tentang acara didepan pengadilan landgerecht dan mengadili perkara-perkara sumir (kecil) untuk semua golongan penduduk.
Ketentuan yang mengatur tentang hukum acara pidana tersebut mulai dipublikasikan pada tanggal 3 April 1848 dan mulai berlaku tanggal 1 Mei 1848 yang diperuntukkan untuk golongan bumi putera daerah Jawa dan madura sedangkan untuk daerah luar daerah tersebut diberlakukan peraturan yang berbeda dalam bentuk Ordonansi-ordonanasi antara lain :
1. ordonanasi tanggal 26 maret 1874 (Stb. 94 b), Gubernur Sumatera Barat;
2. Ordonanasi tanggal 2 Februari 1880 (Stb.32), Residen Bengkulu;
3. Ordonanasi tanggal 25 Januari 1879 (Stb.65), Residen Lampung;
4. Ordonansi tanggal 8 Januari 1878 (Stb.14), Residen Palembang;
5. Ordonansi tanggal 8 Juli 1906 (Stb.320), Residen Jambi;
6. Ordonansi tanggal 21 Februari 1887 (Stb.45), Residen Sumatera;
7. Ordonansi tanggal 14 Maret 1881 (Stb.82), Residen Aceh;
8. Ordonansi tanggal 15 Maret 1882 ( Stb.84), Residen Riau;
9. Ordonansi tanggal 30 Januari 1874 (Stb.33), Residen Bangka;
10. Ordonansi tanggal 23 Agustus 1889 (Stb.183), Asisten Residen Belitung;
11. Ordonansi tanggal 1 Februari 1883 (Stb.53), Residen Kalimantan Barat;
12. Ordonansi tanggal 5 Maret 1880 (Stb.55), Residen Kalimantan selatan dan timur;
13. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.27), Residen Menado;
14. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.22), Residen Gubernur Sulawesi;
15. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.29), Residen Maluku;
16. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.32), Residen Ternate;
17. Ordonansi tanggal 6 Februari 1882 (Stb.25), Residen Timor;
18. Ordonansi tanggal 21 Mei 1882(Stb.142), Residen Bali dan Lombok.
18 Ordonansi tersebut kemudian dihimpun dan dijadikan satu dengan nama Recht-reglement buitengewesten (Reglement Daerah Seberang, Stb. 1927-227), dalam perkembangan selanjutnya Gubernur Jendral Rochussen masih memiliki kekhawatiran terhadap diberlakukannya Reglemen tersebut bagi orang Bumi putera, sehingga Reglemen tersebut masih dalam percobaan.
Mr.Wichers mengadakan beberapa perbaikan terhadap anjuran Gubernur tersebut dan terjadi beberapa kali perubahan sampai akhirnya dengan Sbld 1941 Nomor 44 diumumkan kembali dengan nama Herziene Inlands Regelement atau HIR, dan bagian yang terpenting adalah adanya perubahan-perubahan yang tidak sedikit hal ini dapat dilihat dalam aspek-aspek yaitu :
1. Dalam IR belum ada badan penuntut umum tersendiri, dalam HIR sudah ada meskipun belum volwaardigh;
2. Regen, patih dan kepala afdeeling (Residen atau asisten Residen dalam IR adalah Penyidik dalam HIR tidak);
3. Penahanan sementara yang untuk itu dalam sistem IR tidak diharuskan syarat-syarat tertentu, menurut HIR harus selalu ada perintah tertulis;
4. Kurungan sementara atas perintah asisten-Residen (menurut sistem lama) diganti dengan penangkapan (gevangenhouding) selama 30 hari, yang jika perlu setiap kali dapat diperpanjang untuk 30 hari oleh ketua landraad;
5. Baik penahan sementara maupun penangkapan hanya diperbolehkan pada tindak pidana yang berat-berat (yang diancam dengan pidana penjara selama 5 tahu atau dipidana yang lebih berat pasal 62 HIR;
6. Untuk penggeledahan rumah pada umumnya diperlukan izin ketua landraad, kecuali dalam hal tertangkap tangan dan dalam hal mendesak sekali, Pasal 77 dan 78 HIR;
7. Wewenang untuk menyita barang yang dapat dijadikan alat bukti diberikan kepada pegawai penuntut umum yang dalam HIR diatur khusus dalam pasal.
Hal-hal diatas tersebut perlu di garis bawahi bahwa dalam HIR muncullah lembaga penuntut umum tidak lagi dibawah pamongpraja tetapi secara bulat dan tidak terpisah-pisah dibawah officer van justitie dan procuceur general.
Sejalannya dengan praktek diberlakukannya HIR di Jawa dan madura eksistensi IR masih sering digunakan dan diberlakukan, HIR berlaku dikota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Malang dan lain-lain sedangkan kota-kota lain berlaku IR.
Periode kependudukan Jepang
Pada zaman kependudukan Jepang perundang-undangan hukum acara pidana Indonesia tidak terjadi banyak perubahan seperti yang diatur dalam pasal 6 UU no 14 tahun 1942 yang berbunyi “ hukum acara pidana masa sebelumnya masih dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak diatur oleh peraturan lain” kecuali hapusnya Raad van justitie sebagai pengadilan golongan Eropa.
Dengan undang-undang Osamu Sirei no 4 tahun 1942 yang berlaku mulai tanggal 7 Maret 1942 maka ditetapkan semua putusan pengadilan harus memakai kepada Atas Nama Jendral Balatentara perubahan ini berlaku pula terhadap semua badan peradilan dari pemerintahan Hindia Belanda kecuali Residentiegerecht (dihapuskan dengan Osamu Sirei No 4 tahun 1942) dan susunan nama pengadilannya diganti. Setelah diberlakukannya undang-undang no 34 tahun 1942 maka undang-undang no 14 tahun 1942 dicabut yang kemudian dikenal adanya Kootoo Hooin yang merupakan pengadilan tinggi dan kelanjutan dari Raad Van Justitie dan Saikoo Hooin (Mahkamah Agung) yang merupakan kelanjutan dari Hooggerechtshof. 
Semua badan peradilan pada zaman ini diterapkan hukum acara pidana dengan menggunakan ketentuan Het Herziene Inlndsch Reglement (HIR, Stb 1941 No 44) kecuali untuk Keizai Hooin yang menggunakan ketentuan Landgerechtreglement (Stb. 1914 No 137 jo Stb 1917 No. 323), sedangkan Kootoo Hooin dan Saikoo Hoin hukum acara pidananya diterapkan oleh Raad van justitie dan Hooggerechtshof yang mengacu kepada Reglement op de Strafvordering (Stb. 1849 No 63), pada tingkat banding diatur dalam Osumei Seihi No 1573 tahun 1942, semua putusan pengadilan rendahan pada pokoknya dapat dimintakan banding pada Kootoo Hooin.
1. Periode 17 Agustus 1945 
Pada saat proklamasi kemerdekaan yang melahirkan Negara Republik Indonesia yang merdeka dan berdaulat, tetapi dengan kemerdekaan Indonesia tidak serta merta mengganti peraturan-peraturan yang telah diterapkan di Indonesia ini terlihat pada pasal II aturan peralihan Undang-undang dasar 1945 disebutkan bahwa :
“segala badan Negara da peraturan yang ada masih berlaku selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang ini”
yang kemudian dipertegas dengan peraturan presiden No 2 tanggal 10 Oktober 1945 pada pasal 1 yang menyebutkan :
“segala badan-badan Negara dan peraturan-peraturan yang ada sampai berdirinya Indonesia pada tanggal 17 agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut undang-undang dasar, masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan undang-undang dasar tersebut”.
Pada masa ini mengenai hukum acara telah lahir 2 undang-undang untuk melaksanakan peradilan umum yakni undang-undang no 20 tahun 1947 tentang peradilan ulangan di Jawa dan Madura serta undang-undang no 21 tahun 1947 tentang pemeriksaan perkara pidana diluar hadirnya terdakwa. Konsekwensi yang diakibatkan terbentuknya Undang-undang no 20 tahun 1947 adalah tidak berlakunya peraturan peradilan ulangan yang dimuat dalam Osamu Seihi no 1573 tahun 1942 yang berlaku pada masa balatentara Jepang.
Selain itu juga pada periode kemerdekaan hukum acara pidana yang telah diterapkan pada praktik peradilan cukup variatif dalam artian diberlakukannya Het Herziene Inlandsch Reglement (HIR, Stb 1941 No 44), Reglement op de Buitengewesten (RBg Stb 1927 No 227) dan Landgerechtsreglement (Stb 1914 no 317 jo Stb 1917 no 323).
Namun keberlakuan hal tersebut tidak berlangsung lama dengan dibentuknya Republik Indonesia Serikat (RIS), istilah Hooggerechtshof diganti menjadi Mahkamah Agung (UU no 1 tahun 1950; LN 1950 no 30), kemudian landgerecht dan Appelraad diganti menjadi pengadilan negeri dan pengadilan tinggi (UU Drt No 18 tahun 1950 (LN 1950 no 27) tanggal 18 April 1950. 




3.2 PEMBENTUKAN KITAB UNDANG-UNDANG HUKUM ACARA PIDANA
Penggunaan istilah “hukum acara pidana” sudah merupakan pemilihan yang tepat dibandingkan dengan “hukum proses pidana” atau “hukum tuntutan pidana di negara Belanda memakai istilah strafvordering yang kalau diterjemahkan adalah “tuntutan Pidana” oleh karena itu menurut Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah istilah Inggris Criminal prosedure law lebih tepat daripada istilah Belanda.
Ada istilah lagi yang pernah popular di Indonesia yaitu criminal justice system yang diterjemahkan menjadi sistem peradilan pidana, dan juga “sistem peradilan pidana terpadu” sebagai salinan istilah integrated criminal justice system Prof. Mochtar Kusumaatmadja pernah merencanakan mengganti mata kuliah hukum acara pidana menjadi sistem peradilan pidana yang kemudian dibagi dua yaitu sistem peradilan pidana Indonesia dan sistem peradilan umum. Tetapi perlu diingat kalau penggunaan istilah “sistem peradilan pidana” itu sangatlah luas ruang lingkupnya dibandingkan dengan “hukum acara pidana” karena ruang lingkupnya hanya meliputi mencari kebenaran,penyelidikan, penyidikan dan berakhir pada pelaksanaan pidana oleh jaksa.
KUHAP (kitab Undang-undang hukum acara perdata) tidak memberikan definisi tentang hukum acara pidana tetapi memberikan definisi akan bagian-bagian atau tahapan-tahapannya seperti penyidikan, penuntutan, mengadili, praperadilan, putusan pengadilan, upaya hukum, penyitaan, penggeledahan, penangkapan, dan lain sebagainya, ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh beberapa pakar hukum antara lain :
1. Minkenhoft : hukum acara pidana adalah sejak dimulainya penyidikan, dan mempunyai peraturan mengenai terjadinya antara saat timbulnya dugaan bahwa suatu delik telah dilakukan dan dilaksankannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa;
2. Van Bemmelen : hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh Negara, karena adanya pelanggaran undang-undang pidana;
3. Wirjono Prodjodikoro : hukum acara berhubungan era dengan adanya hukum pidana maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan Negara dengan mengadakan hukum pidana.
Dengan terbentuknya KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana) yang berfungsi untuk menjalankan hukum acara pidana substansif (materiil) dan mengatur tentang bagaimana Negara melalui perangkatnya melaksanakan haknya untuk menjatuhkan pidana, menurut Van Bemmelen ia mengemukakan tiga fungsi hukum acara pidana antara lain sebagai berikut : 
1. Mencari dan mengemukakan kebenaran
2. Pemberian keputusan oleh hakim
3. Pelaksanaan keputusan
maka untuk pertama kalinya di Indonesia diadakan kodifikasi dan unifikasi yang lengkap dalam arti meliputi seluruh proses pidana dari awal sampai pada kasasi (pembatalan) di Mahkamah Agung bahkan sampai kepada PK ( peninjauan kembali).



Tujuan dari hukum acara pidana yang pernah dikeluarkan oleh menteri Kehakiman :
“Tujuan untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materill ialah kebenaran selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari suapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suaru pelanggaran hukum dan selanjurnya meminta pemerikasaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pudana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan”.

Dahulu KUHAP (kitab undang-undang hukum acara pidana) disebut dengan inlandsch reglement (IR) yang kemudian menjadi Herziene Inlandsch Regelement (HIR) yang pada mulanya hanya berlaku dipulau jawa dan madura dan hanya meliputi pemeriksaan dipengadilan tingkat pertama yaitu landraad yang tidak memiliki peraturan mengenai acara banding dan kasasi.
Sesudah kita merdeka dengan undang-undang nomor 1 (drt) tahun 1951 (LN No. 9 tahun 1951) mulai terbentuk sejak Negara kesatuan pada tanggal 17 Agustus 1950 dan sekaligus menghilangkan dualisme struktur pengadilan dan praperadilan Indonesia seperti yang telah disinggung diatas, terjadinya unifikasi hukum untuk melaksanakan kesatuan susunan kekuasaan dan acara semua pengadilan negeri dan pengadilan tinggi diseluruh Indonesia dan berdasarkan pasal 1 telah menghapuskan dan tidak memberlakukan lagi 9 badan peradilan yang berlaku pada masa sebelumnya.
Terjadinya unifikasi hukum terhadap ketentuan hukum acara pidana cukup bervariasi hal ini berdasarkan ketentuan pasal 6 undang-undang tersebut ditegaskan bahwa untuk acara pidana sipil terhadap semua pengadilan negeri dan alat penuntut umum dan pengadilan tinggi masih diterapkan ketentuan yang diatur didalam HIR (Herziene Inlandsch Regelement ) sedangkan hukum acara pidana terhadap perkara ringan diterapkan Landgerechtsreglement, dan untuk banding diatur dalam pasal 7 sampai dengan pasal 20 UU no 1 Drt tahun 1951.
Setelah orde baru terbukalah kesempatan besar untuk membangun disegala aspek kehidupan dan tidak lepas yang diperhatikan adalah pembangunan dibidang hukum, banyaknya undang-undang telah dibuat dan diperuntukkan untuk mengganti undang-undang zaman kolonial Belanda, suatu undang-undang hukum acara pidana nasional yang modern yang dapat memenuhi kebutuhan hukum masyarakat yang sesuai dan bercirikan dengan pancasila dan Undang-undang dasar 1945.
Undang-undang dasar 1945 menjelaskan secara tegas bahwa Negara Indonesia berdasarkan atas hukum tidak berdasarkan atas kekuasaan belaka, hal itu berarti Negara Indonesia menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga Negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pemerintahan.
Sebagaimana yang telah disebutkan sebelumnya pembentukan IR (Inlands reglement) yang kemudian dirubah menjadi HIR (Herziene Inlandsch Regelement) yang merupakan usaha Belanda membenahi peraturan hukumnya setelah terlepas dari Negara Prancis, dan berdasarkan asas konkordansi maka perundang-undangan yang diciptakan oleh belanda diterapkan atau diberlakukan di Indonesia.
Sewaktu Oemar Seno Adji menjabat menteri Kehakiman ia membentuk suatu tim di departemen kehakiman untuk membuat atau menyusun tentang hukum acara pidana, dan setelah beberapa kurun waktu penyusunan itu berhasil yang sesuai dengan seminar hukum nasional yang diadakan di Semarang pada tahun 1968, setelah Oemar Seno Adji digantikan kedudukannya oleh Mochtar Kusumaatmadja pada tahun 1974 ia melakukan penyempurnaan dan terjadi pembahasan oleh instansi yang berwenang yang kemudian diteruskan oleh Moedjono yang di intensifkan pada tahun 1979 yang diadakan pertemuan antara menteri kehakiman, jaksa agung dan beberapa instansi untuk membahas perencanaan tersebut.
Setelah rancangan tersebut dibahas di Komisi III dan I DPR yang memiliki tim khusus yaitu tim sinkronisasi yang akhirnya membuahkan suatu persembahan suatu rancangan yang telah disetujui oleh sidang gabungan dimuka pada tanggal 9 september 1981, akan tetapi setelah 19 tahun berlakunya KUHAP tidak ada tanda-tanda untuk melakukan peninjauan kembali akan suatu tindak pidana khusus yang telah dicantumkan di dalam pasal 284 ayat 2 KUHAP. Sampai dengan disahkannya rancangan undang-undang didalam sidang paripurna DPR tanggal 23 Sepember 1981 yang kemudian KUHAP (kitab Undang-undang hukum acara pidana) sebagai suatu karya agung disahkan oleh Presiden menjadi undang-undang tanggal 31 September 1981. 


Kesimpulan
1. bahwa perkembangan hukum acara perdata dan hukum acara pidana berawal dari hukum adat setempat (Indonesia) yang dikumpulkan oleh Belanda dan ditambah dengan hukum yang dibuat oleh belanda yang kemudian dikodifikasikan dan dijadikan perundang-undangan di Indonesia, Dalam perkembangannya kemudian sekitar tahun 1848 di Indonesia dikenal beberapa kodifikasi peraturan hukum acara pidana yaitu :
a. Reglement op de Rechterlijke Organisatie (R.O) yang mengatur tentang susunan organisasi kehakiman dan kebijaksanaan mengadili;
b. Inladsch Reglement (I.R) yang mengatur tentang hukum acara perdata dan hukum acara pidana di depan persidangan landraad bagi mereka yang tergolong penduduk Indonesia dan timur asing dan hanyalah berlaku bagi daerah jawa dan madura yang diterapkan ketentuan Rechtsreglement voor de buitengewesten (Rbg, Stb.927-227);
c. Reglement op de Strafvordering (Stb.1849 No 63) mengatur tentang ketentuan hukum acara pidana bagi golongan penduduk Eropa dan bagi mereka yang dipersamakan;
d. Landgerechtsreglement yang mengatur tentang acara didepan pengadilan landgerecht dan mengadili perkara-perkara sumir (kecil) untuk semua golongan penduduk.
2. pembentukan panitia di departemen kehakiman untuk menyusun RUU Hukum Acara Pidana. Ada 13 pokok masalah yang dituangkan dalam materi undang-undang. Dalam perancangannya, hukum acara pidana Indonesia didasarkan pada HIR. Awalnya dibentuk panitia yang diketuai Oemar Seno Adji;1968 yang berhasil menyusun Rencana UU Hukum Acara Pidana. Kemudian disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menggantikan Oemar Seno adjie menjadi menteri kehakiman,1974. Lalu diteruskan oleh Moedjono.
Tim Sinkronisasi kemudian menciptakan RUU KUHAP yang disetujui sidang gabungan tim bersama-sama dengan DPR di gedung DPR Pusat pada tanggal 9 september1981
Hal-hal signifikan yang perlu diperhatikan dalam RUU KUHAP tahap akhir, ialah:
a. hilangnya kewenangan Kejaksaan (seperti yang tercantum dalam HIR) untuk menyidik.
b. diadakannya perubahan KUHAP dalam kurun waktu dua tahun setelah pengesahan KUHAP(pasal284ayat(2)).
RUU KUHAP disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, dan kemudian disahkan oleh presiden menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981. Sejak saat itulah kita memakai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (Undang-undang No:8/1981,LN 1981 Nomor 76,TLN Nomor 3209) sebagai pedoman yang mengatur acara peradilan pidana.
3. Bahwa perkembangan hukum di Indonesia sesuai dengan ajaran Von Savigny ”hukum itu berkembang dalam sejarah, dimana hukum itu ditemukan tidak dibuat”







No comments:

Post a Comment