Wednesday, June 26, 2013

St. Agustinus dan Plato, St. Thomas Aquinas dan Aristoteles

St. Agustinus dan Plato, St. Thomas Aquinas dan Aristoteles
Iman dan akal budi
Dalam Filsafat ada pandangan yang mengklaim bahwa kristianitas mungkin saja dipengaruhi pula oleh pandangan filosofis Yunani Kuno. Hal ini dapat dirujuk pada pandagan St. Thomas Aquinas dan juga Agustinus apakah memang benar demikian? Kemudian apakah filsafat Plato, Aristoteles dan Plotinos juga menjadi dasar bagi pengungkapan identitas Allah dari sudut pandang filosofis bagi kedua pemikir tersebut?
Kekristenan dan filsafat. Secara prinsip, Gereja Katolik percaya bahwa tidak ada pertentangan antara akal budi (reason) dan iman (faith), karena keduanya berasal dari sumber yang sama, yaitu Tuhan. Kalau sampai akal budi bertentangan dengan iman, maka manusia tidak menggunakan akal budi sebagaimana mustinya atau tidak mempercayai iman yang Ilahi. Karena Tuhan tidak dapat mempertentangkan Diri-Nya sendiri, maka anugerah akal budi dan iman juga tidak mungkin saling bertentangan. Banyak Bapa Gereja yang yang dapat menerangkan misteri iman dengan baik dengan bantuan filosofi. Dan sintesis dari keduanya memuncak dalam tulisan St. Thomas Aquinas, Summa Theology. Berikut ini adalah hubungan antara iman dan akal budi:
1) Kita harus mendudukkan iman dan akal budi pada posisi masing-masing. Akal budi mempunyai keterbatasan, karena memang pemikiran manusia terbatas. Sedangkan iman memberikan kepada kita rencana Allah yang tak mungkin dapat dicapai hanya dengan menggunakan akal budi. Sebagai contoh, dengan akal budi, kita dapat mengetahui bahwa Tuhan adalah satu, Tuhan adalah baik, dll. Namun akal budi tidak dapat mencapai pemahaman bahwa Tuhan adalah satu dalam tiga pribadi. Hal ini hanya mungkin kalau Tuhan sendiri menyatakannya kepada manusia. Setelah Tuhan menyatakannya kepada manusia, maka manusia dapat menguak misteri ini dengan akal budi, misalnya dengan filosofi. Oleh karena itu, akal budi melalui filosofi membantu manusia untuk dapat menguak misteri iman dengan lebih baik dan dengan penjelasan yang masuk diakal. Sedangkan iman menjadi suatu panduan bagi akal budi, sehingga tidak salah arah. Katekismus Gereja Katolik mengatakan:
KGK 50: “Dengan bantuan budi kodratinya, manusia dapat mengenal Allah dengan pasti dari segala karya-Nya. Namun masih ada lagi satu tata pengetahuan, yang tidak dapat dicapai manusia dengan kekuatannya sendiri: yakni wahyu ilahi (Bdk. Konsili Vat I: DS 3015.). Melalui keputusan yang sama sekali bebas, Allah mewahyukan dan memberikan Diri kepada manusia, dan menyingkapkan rahasia-Nya yang paling dalam, keputusan-Nya yang berbelas kasih, yang Ia rencanakan sejak keabadian di dalam Kristus untuk semua manusia. Ia menyingkapkan rencana keselamatan-Nya secara penuh, ketika Ia mengutus Putera-Nya yang terkasih, Tuhan kita Yesus Kristus dan Roh Kudus.
KGK 274: “Karena itu, iman kita dan harapan kita dengan paling kuat diteguhkan, kalau kita membawa dalam hati kita keyakinan bahwa Allah sanggup melakukan segala sesuatu. Apa saja yang harus diimani – meskipun mulia, mengagumkan, dan jauh melampaui segala susunan dan takaran ciptaan – budi manusia akan menyetujuinya dengan mudah dan tanpa ragu-ragu, apabila ia telah memahami kabar mengenai Allah yang maha kuasa (Catech.R. 1,2,13).
KGK, 1706: “Oleh akal budinya, manusia mendengarkan suara Allah yang mengajaknya “untuk mencintai serta melakukan yang baik dan mengelakkan yang jahat” (GS 16). Setiap manusia diwajibkan untuk mematuhi hukum ini, yang menggema di dalam hati nurani dan dipenuhi dengan cinta kepada Allah dan kepada sesama. Dalam tindakan moral tampaklah martabat manusia.
2) Dalam sejarah perkembangan Gereja, ada begitu banyak Bapa Gereja yang menggabungkan filosofi dengan iman. Kita melihat pada masa awal ada banyak orang Yunani yang juga menjadi Kristen. Dan dengan pengetahuan filosofinya, mereka menjadi pengkotbah dan penulis yang ulung. Kita juga melihat ada yang terjebak dalam filosofi yang bertentangan dengan iman, seperti Origen. Origen, mengikuti Plato mengajarkan akan jiwa-jiwa yang sudah ada sebelumnya (pre-existent souls). Ada yang sama sekali tidak mau menyentuh filosofi, seperti yang ditunjukkan oleh Tertullian, dengan perkataannya yang terkenal “What indeed has Athens to do with Jerusalem?” Tapi akhirnya Tertullian terjebak dalam aliran Montanism. Jadi, pada akhirnya, kita harus membedakan filosofi yang baik dan filosofi yang jelek. Dan peran dari Magisterium Gereja menjadi sangat penting untuk mempertahankan iman yang murni, sehingga iman yang murni dapat diteruskan dari generasi ke generasi.
3) Para Bapa Gereja sampai sekitar jaman St. Agustinus banyak mengambil filosofi dari Plato. Sedangkan sekitar abad ke-13, yang memuncak pada St. Thomas Aquinas, banyak mengambil manfaat dari cara berfikir Aristoteles. Pengaruh dari Plato dan Aristoteles memang dapat kita telusuri dari begitu banyak tulisan Bapa Gereja yang hidup dari satu generasi ke generasi yang lain.
a) Dalam tulisan St. Agustinus di Confessions, dia mengatakan bahwa dia kehilangan iman ketika dia mencari Tuhan di luar dirinya tanpa melihat ke dalam jiwanya. Karena pengaruh filosofi materialism, maka dia sulit menangkap sisi spiritual dari Tuhan dan jiwa. Dan melalui bacaan Neo-Platomist filsuf, maka dia mengatasi hambatan ini, dan dia menuliskan:
Dari sini, kita melihat bahwa St. Agustinus menangkap Tuhan yang tidak bersifat material, namun spiritual, Kebenaran yang Utama dan mahluk yang kekal, yang memberikan “being” dan “essence” kepada semua ciptaan-Nya. walaupun neo-platonists memberikan sesuatu yang berharga, namun tidak memberikan apa yang paling dibutuhkan oleh St. Agustinus, yaitu: Jalan kepada Tuhan, Pengantara antara Tuhan dan manusia, yaitu Yesus Kristus. Untuk ini, dia menemukannya di di dalam Perjanjian Baru. Dari sini, kita melihat bagaimana filosofi dan iman menuntun St. Agustinus kepada Kebenaran.
b) Untuk perbandingan antara Aristoteles dan St. Thomas Aquinas, silakan membaca Summa Theology. Di dalam Summa Theology, terlihat bagaimana St. Thomas menggabungkan logic Aristoteles dengan iman, sehingga menghasilkan iman yang dapat dipertanggungjawabkan.
Jadi, memang para Bapa Gereja banyak menggunakan dasar-dasar filosofi, terutama dari Plato dan Aristoteles untuk dapat memasuki misteri iman dengan lebih baik. Gereja mengambil apa yang baik dari filosofi tersebut, sehingga membantu manusia untuk memahami iman dengan lebih baik. Kalau kita dapat mengerti alasan mengapa kita percaya akan apa yang kita percayai, maka kita dapat mempercayai apa yang kita percayai dengan lebih kuat lagi dan pada akhirnya akan membantu kehidupan spiritual kita.
komentar untuk “Iman dan akal budi, St. Agustinus dan Plato, St. Thomas Aquinas dan Aristoteles”
Tiga kategori orang menurut kemampuan alamiah laku spiritual, yang menunjukkan ciri-ciri orang yang paling cocok untuk mencapai manfaat dalam praksis spiritual.
Satu idealnya pribadi yang layak dalam praksis, yaitu mereka yang tidak hanya dianugerahi intelektual(akal budi), namun juga memiliki dedikasi dan iman yang fokus dan bijaksana. Orang seperti ini layak untuk laku spiritual.
Pribadi di kelompok kedua, yaitu mereka yang tidak tinggi intelektualnya (akal budinya), namun memililiki fondasi kokoh iman seperti batu karang.
Yang tidak beruntung, orang di kelompok ketiga. Mereka ini meskipun tinggi intelektualnya (akal budinya), mereka selalu dibayangi olah keraguan dan rasa skeptis dan tidak pernah betul-betul tenang. Kelompok ini adalah golongan kelompok berdaya terima paling sedikit.
Iman atau keyakinan yang dicapai melalui pemahaman akal sehat (akal budi) itu sangat kuat dan dirasa benar dalam laku spiritual seseorang. Keyakinan semacam itu kuat karena kita telah meyakinkan diri anda sendiri tentang kualitas keadaan dan validitas gagasan tempat kita meletakkan iman. Keyakinan ini pengaruhnya sangat kuat dalam memotivasi tindakan kita. Inilah alasan menilai kepandaian (akal sehat/akal budi) itu sangat penting dalam jalan spiritual seseorang. Dalam laku spitual ini, kepandaian bekerja sama dengan hati dan emosi.
Ketika iman dan belas kasih (yang lebih cenderung di tingkat emosi) didukung oleh keyakinan yang kuat dicapai melalui refleksi dan investigasi, maka iman dan belas kasih itu benar-benar sangat kuat. Sementara, iman dan belas kasih yang tidak didasarkan pada akal sehat (akal budi/ intelektual) yang kuat semacam itu, namun lebih pada perasaan dan insting menjadi rapuh. Keyakinan seperti itu terus melemah dan diombang-ambingkan, diterjang saat anda menemui situasi tertentu. Ungkapan yang pas dalam halini adalah, “Orang yang imannya tidak didasarkan pada akal sehat (akal budi/intelektual) seperti aliran yang dapat diarahkan kemanapun.”
——————————————



No comments:

Post a Comment