Hans-Georg Gadamer Hermeneutik
FILSAFAT HERMENEUTIKA
(HERMENEUTICA PHILOSOPHY)
BAB
I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Salah satu
ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa. Tentu saja,
bahasa bukan merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk masalah-masalah
yang menyangkut bahasa telihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak
permulaannya di Yunani. Namun demikian, perhatian filosofis untuk bahasa itu
belum pernah begitu umum, begitu luas dan begitu mendalam seperti dalam abad
ke-20. Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa memainkan peranan yang dapat
dibandingkan dengan being (ada) dalam filsafat klasik dulu. Karena
terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya bersifat universal. Hanya saja being
adalah universal dari sudut objektif: “ada” meliputi segala sesuatu; apa saja
merupakan being. Sedangkan bahasa adalah universal dari sudut subjektif:
bahasa meliputi segala sesuatu yang dikatakan dan diungkapkan.; makna atau arti
hanya timbul dalam hubungan dengan bahasa. Bahasa adalah tema yang
dominan dalam filsafat Eropa kontinental maupun filsafat Inggris dan Amerika.
Di mana-mana dapat kita saksikan the linguistic turn; di mana-mana
refleksi filosofis berbalik kepada bahasa. Dan tidak sedikit aliran mengambil
bahasa sebagai pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya
hermeneutika, strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis.
Teori
tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari
kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub
ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu
pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu
dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah
filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu
tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sangat dekat kerjanya dengan Biblical
Studies, dengan munculnya buku Truth and Method (1960) oleh
Hans-Geor Gadamer, maka hermeneutika mengembangkan mitra kerjanya pada semua
cabang ilmu. Gadamer mendasarkan klaimnya pada argumen bahwa semua disiplin
ilmu, termasuk ilmu alam, mesti terlibat dengan persoalan understanding
yang muncul antara hubungan subyek dan obyek.[2]
Hermeneutika
adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra.
Hermeneutik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan
Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu
teologis sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter
hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat
(atau harus bersifat) “hermeneutis”.[3]
Sesungguhnya
istilah hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun
penelitian sastra; dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering
muncul dalam makna yang sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas dalam
“Hermeneutika Baru” teologis kontemporer.[4]
Hermeneutika
selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks.[5]
Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori
hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya,
hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan
pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi
radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika
filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan semantik telah
merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur metode klasik dan
pengetahuan agama.[6]
Metode
hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen.
Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru,
dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan
usaha berkelanjutan dalam menanganinya.
Para
filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada
ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala
sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu
membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan
dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan
epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika.
Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang
berdampingan.[7]
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana asal-usul dan
pengertian hermeneutika?
- Bagaimana latar belakang
munculnya filsafat hermeneutika?
- Bagaimana perkembangan
filsafat hermeneutika beserta para tokohnya?
BAB
II
PEMBAHASAN
- A. Asal-usul dan Defenisi
Hermeneutika
Sebelum
kita mendefinisikan filsafat hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu
asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani
tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam
bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang
dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes
dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di
langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan.[8] Kata
hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni
menginterpretasikan sebuah teks.
Hermes
diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang
diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan
menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang
dipahami manusia. Hermes mempunyai kaki bersayap dan dikenal dengan Mercurius
dalam bahasa Latin. Menurut Abed al-Jabiri dalam bukunya Takwīn al-‘Aql
al-‘Ârabi, dalam mitologi Mesir kuno, Hermes/Thoth adalah sekretaris Tuhan atau
orisin Tuhan yang telah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan
geometri.[9] Hermes
yang dikenal oleh orang Arab sebagai Idris as, disebut Enoch oleh orang Yahudi.[10] Baik
Idris as, Hermes, Thoth, dan Enoch adalah merupakan orang yang sama.
Sosok
Hermes ini oleh Sayyed Hossein Nasr kerap diasosiasikan sebagai Nabi Idris as.
Menurut legenda yang beredar bahwa pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang
tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran
dewa Hermes, ternyata terdapat korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam
bahasa latin adalah tegree, sedang produknya disebut textus atau text,
memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Nabi Idris as atau
Dewa Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan
Tuhan yang memakai “bahasa langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang
menggunakan bahasa “bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang
pintal, yakni memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan
agar nantinya pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia [11]
Hermeneutika
(Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa
punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika
berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan
dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang
tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan
kebingungan bagi pendengar atau pembaca.[12]
Akar kata
hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein
(menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi).[13]
Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan).[14] Kata
Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios
dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya
dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes
diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia
ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.[15] Kurang
lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode
hermeneutika.
Dengan
menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari
“hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk
dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa
merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.[16]
Mediasi
dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini
terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia
dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein,
yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan;
(3)menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata kerja
bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu
membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. [17]
Sebagai
turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya
yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam
situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian
pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks.[18]
Dalam Webster’s
Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi
tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya
studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.” Setidaknya ada
tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan
sastra.[19]
Persoalan
utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif
atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur
hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing
hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika
kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini
menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami
dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini
adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika
filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks
dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya
adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika
kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks.
hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai
problem hermeneutiknya.[20]
- B. Latar Belakang Munculnya
Filsafat Hermeneutika
Werner G.
Jeanrond menyebutkan tiga milieu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya
hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori interpretasi:
Pertama
milieu masyarakat yang terpengaruh
oleh pemikiran Yunani.
Kedua
milieu masyarakat Yahudi dan Kristen
yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama mereka dan berupaya mencari
model yang cocok untuk intepretasi untuk itu.
Ketiga
milieu masyarakat Eropa di zaman
Pencerahan (Enlightenment) berusaha lepas dari tradisi dan otoritas
keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.[21]
Dari
mitologi Yunani ke teologi Kristen
Konsep
hermeneutika yang digunakan dari nama Hermes ini resminya digunakan untuk
kebutuhan kultural bagi menentukan makna, peran dan fungsi teks-teks
kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik
karya Homer.[22]
Meskipun
interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun istilah
hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos,
Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato
dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang
tidak terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum,
penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika. Sedangkan dalam
Timaeus Plato menghubungkan hermeneutika dengan pemegang otoritas
kebenaran, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat dipahami oleh “nabi”. Nabi disini
maksudnya adalah mediator antara para dewa dengan manusia.[23]
Dalam
menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di kalangan penyair dalam
memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, misalnya masyarakat
Yunani menyelesaikan dengan konsep rational logos.[24]
Stoicisme
(300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu intepretasi alegoris,
yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari
sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris
terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer logos
(inner word and outer word). Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian
dianggap sebagai Bapak metode alegoris. Metode yang juga disebut typology itu
intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal
dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang
merujuk sesuatu di luar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian
ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen (sekitar
185-254 M) telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan metode
ini.[25]
Namun,
metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang
membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch. Pertentangan
antara kelompok Alexandria dan Antioch mereprentasikan pertentangan metode
interpretasi simbolik dan literal. Yang pertama berada dibawah pengaruh
hermeneutika Plato sedangkan yang kedua berada dibawah bayang-bayang
hermeneutika Aristotle.
Dari
pertentangan antara dua konsep hermeneutika Alexandria dan Antioch ini seorang
teolog dan filosof Kristen St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan
tengah. Ia lalu memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan
teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat
mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung
arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu simplistik.
Perkembangan
pemikiran hermeneutika dalam teologi Kristen terjadi pada abad pertengahan yang
dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Kemunculannya yang didahului oleh
transmisi karya-karya Aristotle ke dalam milieu pemikiran Islam mengindikasikan
kuatnya pengaruh pemikiran Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya al-Farabi
(870-950), Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam karyanya Summa
Theologia ia menunjukkan kecenderungan filsafat naturalistic Aristotle yang
juga bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis St.Augustine. Ia mengatakan
bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan sesuatu yang perlu dilakukan oleh
para teolog adalah pemahaman literal. Pemahaman literal lebih banyak merujuk
kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri Hermenias nya. Tujuannya adalah
untuk menyusun teologi Kristen agar memenuhi standar formulasi ilmiah dan
sekaligus merupakan penolakannya terhadap interpretasi alegoris.[26]
Di awal
abad pertengahan, hermeneutika masih berada dalam sangkar teologi Kristen tapi
masih berada dibawah pengaruh pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Ketika
teks Bible sendiri mulai digugat dan dan otoritas gereja mulai goyah pengaruh
pandangan hidup ilmiah dan rasional Barat (scientific and rational worldview)
mulai muncul membawa hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis.
Dari
teologi dogmatis kepada spirit rasionalisme
Bagaimanapun
resistensi para teolog Kristen terhadap perkembangan sains yang dipengaruhi
oleh pandangan hidup ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi diskursus yang
menarik kalangan teolog Kristen masa itu. Pertanyaan hermeneutika yang diangkat
pun bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam teks
kuno seperti Bible dan bagaimana menterjemahkan realitas tersebut ke dalam
bahasa yang dipahami oleh manusia modern. Yang selalu dimuculkan adalah masalah
adanya gap antara bahasa modern dan bahasa teks Bible, dan cara penulis-penulis
Bible berfikir tentang diri mereka dan cara berfikir masyarakat Kristen modern.
Dunia teks
akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern
dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian
dan kata-kata masa lampau menjadi berarti dan relevan bagi eksistensi manusia
tanpa menghilangkan esensi pesannya.
Bel
pertama untuk pemakaian hermeneutika sebagai the art of interpretation
dapat ditemui dalam karya J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica Sacra
Sive Methodus exponendarum Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the
Method of Explanation of Sacred Literature), terbit pada tahun 1654.
Di situ hermeneutika sudah mulai dibedakan dari exegesis sebagai
metodologi interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tapi obyeknya
diperluas kepada non-Biblical literature.[27]
Benedictus
de Spinoza (1632-1677) dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus
theologico-politicus (Risalah tentang politik teologi) menyatakan bahwa
“standar eksegesis untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua”.[28]
Perlahan-lahan hermeneutika dalam pengertian baru ini diterima sebagai
alat penafsiran (exgesis) Kitab Suci, dan juga menjadi pengantar disiliplin
ilmu interpretasi.
Tanda-tanda
beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi yang dogmatis kepada semangat
rasionalisme sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi Protestan
pada abad ke-16. Mulai abad ini hermeneutika mengalami perkembangan dan
memeperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika kalangan ilmuwan
gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai otentisitas Bibel dan
mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan
Bibel yang dalam berbagai hal dianggap bertentangan.[29]
Tanda ini
bertambah jelas pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad berikutnya.
Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan sabagai teman sekaligus
tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena hermeneutika
mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial. Pada pertengahan
abad ini di Eropa bangkit sebuah apresiasi tentang karya-karya seni klasik,
hermeneutika sebagai metode penafsiran menjadi sangat penting peranannya.
Karena sebuah karya seni merupakan contoh perwujudan paling riil dari sebuah
jalinan yang unik antara sang pencipta, proses pensiptaan dan karya cipta.[30]
Perkembangan
makna hermeneutika dari sekedar pengantar ilmu interpretasi menuju kepada
metodologi pemahaman, dilontarkan oleh seorang pakar filololgi Friedriech Ast
(1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien der Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements
of Grammar, Hermeneutic and Criticism) Ast membagi pemahaman terhadap teks
menjadi 3 tingkatan: 1) pemahaman historis, yakni pemahaman berdasarkan pada
perbandingan teks dengan teks yang lain. 2) pemahaman ketata-bahasaan, yaitu
merujuk kepada pemahaman makna kata pada teks, dan 3) pemahaman spiritual,
yakni pemahaman yang merujuk kepada semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan
hidup pengarang, tapi terlepas dari konotasi teologis ataupun psikologis.[31]
Pada
tingkat ini pergeseran diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat masih
berkutat pada perubahan fungsi hermeneutika dari teori interpretasi teks Bibel
secara rasional menjadi pemahaman segala teks selain Bibel. Disini hermeneutika
berkembang dalam milieu yang didominasi oleh para teolog yang telah bersentuhan
dengan pemikiran filsafat Barat.
Dari
teologi protestan kepada filsafat
Abad ke 18
dianggap sebagai awal periode berlakunya proyek modernitas, yaitu pemikiran
rasional yang menjanjikan pembebasan (liberasi) dari irrasionalitas mitologi,
agama dan khurafat. Ketika gerakan desakralisasi atau dalam bahasa Weber ‘disenchantment’
terjadi di Barat, ilmu diletakkan dalam posisi berlawanan dengan agama yang
dianggap penyebab kemunduran.
Pada abad
ke-17 dan 18 pendekatan kritis terhadap Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru) yang merupakan bagian dari hermeneutika teologis telah berkembang. Studi
kritis perjanjian lama telah menekankan kepada struktur atau bahasa teks
sebagai cara untuk memahami isi. Studi in juga menyandarkan pada bukti internal
teks sebagai dasar diskusi mengenai integritas dan pengarang teks, kemudian
mencari situasi sosiologis dan historis sebagai konteks untuk memahami
asal-mula dan penggunaan materi. Studi kritis Perjanjian Baru melahirkan banyak
teks-teks tandingan terhadap textus receptus edisi Erasmus. Studi
tersebut menyatakan bahwa Kalam Tuhan (Word of God) dan Kitab Suci (Holy
Scripture) tidak identik, bagian-bagian dari Bibel bukanlah inspirasi dan
tidak dapat diterima secara otoritatif. [32] Di dalam
milieu pemikiran inilah makna hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat.
- C. Perkembangan Filsafat
Hermeneutika beserta para Tokohnya
Terdapat
sejumlah tokoh yang memberi sumbangan dalam perkembangan filsafat hermeneutika,
di antaranya adalah:
- 1. Friedrich Daniel Ernst
Schleiermacher (1768-1834).
Schleiermacher,
seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun
1815-1816, digelar sebagai “the founder of General Hermeneutics.” Gelar
tersebut diberikan karena pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru
dalam teori penafsiran.[33] Materi
kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan
berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof
Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika.
Karena itu ia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika modern dan juga pendiri
Protestan Liberal.[34]
Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada
idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya bisa
digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks.
Schleiermacher
mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks.
Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah
makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai
“makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk
kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan
kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang
merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah
lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus
berubah dari waktu ke waktu?[35]
Schleiermacher
menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan
teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya. Ia merubah makan
hermeneutika dari sekedar kajian teks Bibel menjadi metode memahami dalam
pengertian filsafat. Dalam pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika
filologis[36]
dan hermeneutika teologis[37] bisa
berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk mengembangkan teori umum mengenai
pemahaman dan penafsiran. Paul Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan
usaha untuk menaikkan penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah, yang
tidak terbatas kepada metode yang khusus. Dengan mensubordinasikan
kaidah-kaidah dalam tafsir Bibel dan filologis kepada problem penafsiran yang
umum, maka teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan hermeneutika
universal (universal hermeneutics).[38]
Schleirmacher
telah menumbuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait
mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang
lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian
sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah
kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman
teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran
tata bahasa) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang (penafsiran
psikologi). Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya.[39]
Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin memahami
teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa yang
dipahami oleh si pengarang (merekonstruksi pikiran pengarang). Tugas itulah
yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.[40]
Jadi,
bukan saja setiap unit, tata bahasa harus dipahami dalam konteks keseluruhan
ucapan, tetapi ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental
pengarang (the part whole principle). Jika tugas tersebut dilakukan oleh
seorang interpreter maka Schleirmacher menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa
memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan
memahami pengarang teks tersebut lebih baik daripada pengarang sendiri.[41]
- 2. Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm
adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar
pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang
dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua
disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).[42]
Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal
Jerman.
Bagi
filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik
memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh
karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan
ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut
intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk
kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Pada
bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah
transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin
historis, usaha-usahanya ia hentikan.[43] Ia
menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari
prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini
anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam
perkembangan pikiran pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat
hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan
sosial dan ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya menjadi metode-metode dan
aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi
Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang
mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.[44]
Menurutnya,
dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah pengetahuan
pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of
Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of
Historical Reason.[45]
Wilhelm
Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam
dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek
penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di
luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek,
sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu
sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini
menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek
pengetahuan, yakni “sikapnya” terhadap obyek. Dengan demikian, perbedaan kedua
disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara
epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren),
yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori. Sebab,
pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora
mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna
obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan
pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari
ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga,
hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi
sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi
dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong
lahirnya teks.[46]
Dilthey
menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften).
Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam
segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori
hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.[47]
- 3. Martin Heidegger (1889-1976)
Latar
belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika
dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan metode
fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan
sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran
Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya
Heidegger mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun
Husserl. Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut
pengetahuan tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai
ontologi karena menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa
fakta keberadaan merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran
dan pengetahuan manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan
sebagai sebuah datum keberadaan. Heidegger tidak memenjara realitas
dalam kesadaran subjektif, melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang
menelanjangi dirinya di hadapan subjek. Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin
dipaksa untuk menyingkapkan diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar
ia menyingkapkan diri.[48]
Heidegger
mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis.
Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah metode.
Menurutnya pemahaman lebih dari sekedar metode. Sebabnya pemahaman telah wujud
terlebih dahulu (pre-reflective understanding) sebelum merefleksikan
sesuatu. Heidegger menamakan pra-pemahaman tersebut sebagai Dasein, yang
secara harfiah berarti disana-wujud.[49]
Apa yang
ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian
pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode
pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang
menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian
subjek-objek, di mana pemahaman tentang objek berangkat dari persepsi kategoris
dalam diri subjek. Subjek tidak memahami sejauh objek tidak mengungkapkan diri.
Subjek tergantung kepada pengungkapan objek. Dan sebetulnya term subjek dan
objek di sini tidak tepat, sebab Dasein adalah seinde yang
memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein karena cara beradanya
berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein
berarti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein
adalah satu-satunya seinde yang secara ontologis mampu keluar dari
dirinya sendiri (Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde
lainnya.[50]
Sekalipun
Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau
berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa
dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi
digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi
anutan kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang
menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis
karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi)
adalah Dasein itu sendiri. Berpikir, dalam pengertian Heidegger,
bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan
merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan
penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada.[51]
Heidegger
menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks
tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap
kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam
karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensi yang
berhubungan dengan orang dan obyek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman, dan
interpretasi yang essensial dan terus menerus.[52]
Martin
Heidegger mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap
teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan
ketertutupan, antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah
eksistensi yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam
kesadaran manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya
atas teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang
terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah
manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas
dalam proses memahami suatu teks.[53]
Heidegger
mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada
pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan artikulasi
eksistensial pemahaman. Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara
keberadaan, kemunculan, dan bahasa, saling mengandalkan. Bersama pikiran,
bahasa adalah juga ciri keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah.
Oleh karenanya, interpretasi merupakan kegiatan membantu terlaksananya
peristiwa bahasa, karena teks mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat
pengejawantahan Ada itu sendiri.[54]
Hermeneutika
Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang
berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara
pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua
dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.
- 4. Hans-Georg Gadamer
(1900-1998)
Gadamer
menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap
hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya
kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana
lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis.[55]
Gadamer melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana
pengetahuan bukan merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian,
peristiwa, perjumpaan.[56] Gadamer
menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari
wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman
individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca.[57]
Filsafat
hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis,
dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala
bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan
logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti
difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan
pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu
karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup
kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita
sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan
yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu
ada.[58]
Dia
umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks. Dalam proses memahami
teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya untuk
berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat
pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon
ekspektasi inilah kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh
realitas sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi
teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut
dengan effective historical consciousness yang struktur utamanya adalah
bahasa.[59]
Menurut
Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia,
namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga adalah tidak
terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha
keluar dari lingkaran tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berusaha memahami
sebuah teks kita akan berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup
makna. Jadi, sebenarnya ada dua metode yang perlu dihindari ketika memahami
sesuatu. Pertama, sikap reduktif ketika dengan seenaknya memasukkan
konsep kita sendiri dengan berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup budaya,
sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua, sikap self-effacement
ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam
kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan persoalan ilmu
yang objektif karena masih terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau
objek, padahal kondisi primordial kita melampaui hubungan antara subjek dan
objek.[60]
Gadamer
merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci
heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Pembaca
perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam
membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk
“pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam
mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca teks,
menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya terhindar
dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus menggabungkan antara
dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya harus dikomunikasikan
agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda bisa diatasi. Pembaca
harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks memasuki horizon pembaca.
Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu yang akan dikatakan pada
pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh Gadamer disebut
“lingkaran hermeneutik”. Keempat, langkah selanjutnya adalah menerapkan
“makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks. Bertolak pada asumsi
bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia hidup, maka setiap pembaca
menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya begitu saja ketika hendak
membaca sebuah teks.[61]
- 5. Jurgen Habermas (1929-
)
Habermas
sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar
teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi
ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai
medium pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam
teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir,
teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.[62]
Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena
itu, ia harus selalu dicurigai.
Bagi
Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon
pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan
kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter.[63]
- 6. Paul Richour (1913-2005)
Paul
Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis
tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika
adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah
makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam pengertian
yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos dari simbol
dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan teks simbolik
yang memiliki multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk kesatuan
semantik yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan sekaligus
mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di mana
signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak.[64]
Konsep
yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif
diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi
yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut
pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian
pandangan hidup pembacanya.[65]
Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
- 7. Muhammed Arkoun
Setelah
membahas pemikiran tokoh-tokoh di atas, ada baiknya untuk membahas pemikiran
Muhammed Arkoun yang telah mengadopsi teori-teori hermeneutika ketika
menafsirkan Alquran.
Adalah
Muhammed Arkoun, pemikir reformatif-dekonstruktif sekaligus intelektual wilayah
‘tak terpikirkan’ (al-la mufakkar fih/L’impensê/unthikable) yang lahir pada 1
Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun
diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran
epistemik Arkoun sangat terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis.
Metode historisisme yang dijadikan pisau bedah analisis Arkoun adalah formulasi
ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis
Perancis.[66]
Kritik
epistemik nalar Islam dan analisis dekonstruktif merupakan harga mati bagi
Akoun guna mencapai kebangkitan kembali peradaban Islam yang sampai kini masih
terkapar dalam hegemoni ortodoksi dan dogmatisme. Kerja ilmiah ini digarap oleh
Arkoun dengan cara mengkritik secara dekonstruktif terhadap mekanisme-mekanisme
berpikir konvensional yang telah memproduk sistem-sistem teologis dan keyakinan-keyakinan
yang amat varian dan, sebagai langkah kedua, kemudian merekonstruksi
pondasi-pondasi epistemiknya.[67]
Muhammed
Arkoun berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan
budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata
kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengusulkan supaya membudayakan
pemikiran liberal (free thinking). Ia mencapai pemikiran liberal dengan
dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi adalah sebuah ijtihad yang akan memperkaya
sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang
Alquran. Jika masalah-masalah yang selama ini ditabukan dan dilarang dan semua
itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika didekonstruksi, maka semua diskursus
tadi akan menjadi diskursus terbuka.[68]
Menurutnya
pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk
warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada
semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan
wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang
segala bentuk pensaklaran dan penafsiran transenden yang dibuat teolog
tradisional.[69] Arkoun
dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori
Hermeneutika.
BAB
III
KESIMPULAN
- Mediasi dan proses membawa
pesan “agar dipahami” yang diasosikan dengan Dewa Hermes terkandung di
dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia
dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja
dari hermēneuein, yaitu: to say, to explain, dan to
translate atau to interpret.
- Setidaknya ada enam definisi
tentang hermeneuitika modern yang juga menandai sejarah perkembangan hermeneutika
itu sendiri.
- Hermeneutika sebagai teori
eksegesis Bibel.
- Hermeneutika sebagai metode
filologis.
- Hermeneutika sebagai ilmu
pemahaman linguistik. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang
bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel,
melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fundasi bagi semua
ragam interpretasi teks (Hermeneutika Umum).
- Hermeneutika sebagai fundasi
metodologi geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey menjadi figur
utama pada perkembangan herneutika tahap ini. Ia melihat bahwa
hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat berlaku bagi geisteswissenschaften,
yakni semua pemahaman yang mefokuskan pada seni, aksi, dan tulisan
manusia.
- Hermeneutika sebagai
fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Pada titik inilah
hermeneutika memasuki wilayah ontologis. Hermeneutika menjadi instrumen
pengejawantahan Sang Ada (Being). Melalui Dasein yang
menginterpretasi, segala Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini
pada akhirnya dilanjutkan oleh Gadamer yang menitik beratkan pada
linguistik.
- Hermeneutika sebagai sistem
interpretasi: menemukan makna versus ikonaklasme. Titik balik
kreatif dilakukan oleh Paul Ricour yang mendefinisikan hermeneutika
dengan mengacu kembali pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen
distinktif dan sentral dalam hermeneutika.
- Muhammed Arkoun mengadopsi
teori hermeneutika dalam tafsir Alquran, dengan melakukan kritik secara
dekonstruktif lalu melakukan rekonstruksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Armas,
Adnin. Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi
Al-Qurán. Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008.
__________,Filsafat
Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán,
dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo.
Audifax,HermeneutikadanSemiotika,www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif.
Bertens,
K. Panorama Filsafat Modern. Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2005.
E. Palmer,
Richard. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan
judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi. Cet. II;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hidayat,
Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik. Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996.
Http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2007/10/peta-kritik-nalar-islam-arkoun-dari.html.
Salahuddin,
Henry. Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran,
dalam Blog pada WordPress.com.
Zarkasyi,
Hamid Fahmy. Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup. Dalam Kumpulan
Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006.
[1]K.
Bertens, Panorama Filsafat Modern (Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju,
2005), h. 167-168.
[2]Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996), h, 28.
[3]Richard E.
Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan
judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 3.
[5]Konsep
“teks” di sini tak terbatas pada sesuatu yang tertulis, tapi meliputi pula
ujaran, penampilan, karya seni, dan bahkan peristiwa. Di sini sebenarnya bisa pula
dikatakan interpretasi “teks sosial”. Bahkan simbol-simbol pun, sebenarnya
merupakan teks. Termasuk simbol-simbol dalam mimpi seseorang. Lihat Audifax,
Hermeneutika dan Semiotika, www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif.
[6]Henry
Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran,
dalam Blog pada WordPress.com.
[8]Hamid
Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam
Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo,
2006), h. 1.
[10]Http://khidr.org/gunawardhana.htm.
[11]Llihat
Komaruddin Hidayat, op. cit., h. 125-126.
[12]Keraguan
ini adakalanya juga muncul ketika dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling
berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja
melakukan kajian untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang
jelas. Lihat Ibid., h. 126-127.
[13]Richard E.
Palmer, op.cit., h. 14.
[15]Richard E.
Palmer, op.cit., h. 15.
[17]Lihat ibid.,
h. 15-16.
[19]Http://idhimakalah.wordpress.com/2007/11/22/hermeneutika-ontologi-eksistensial-heidegger.
[21]Dikutip
oleh Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 2.
[24]Logos asal
dari bahasa Yunani berarti “kata”. Para filosof Yunani memakai kata tersebut
untuk menunjukkan prinsip rasional yang mengatur dan mengembangkan alam
semesta. Hamid Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 2.
[27]Richard E.
Palmer, op.cit., h. 39.
[29]Komaruddin
Hidayat, op. cit., 127.
[31]Hamid
Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 6.
[32]Adnin
Armas, Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi
Al-Qurán, Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008, h. 72.
[33]Adnin
Armas, Filsafat Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán, dalam
Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo, 2006, hal. 1.
[34]Hamid
Fahmy Zarkasyi, op. cit., h. 7.
[35]Henry
Salahuddin, loc. cit.
[36]Hermeneutika
yang berkutat dengan teks-teks dari Yunani-Romawi.
[37]Hermeneutika
yang terfokus pada teks-teks kitab suci.
[38]Adnin
Armas, Filsafat Hermeneutika., loc. cit.
[39]Penafsiran
tata-bahasa berfungsi untuk mengidentifikasi secara jelas makna istilah bahasa
yang digunakan dalam teks, selain itu, makna dari setiap kata harus ditentukan
dengan konteks keberadaan kata tersebut. Sedangkan penafsiran psikologis
berfungsi untuk mengidentifikasi motif pengarang dalam suatu waktu dari
kehidupannya ketika menulis teks, ucapan juga harus dipahami dari konteks
keseluruhan mental pengarang.
[40]Lingkar
hermeneutik itu akan mengubah yang konstan menjadi dinamis dan terus bergerak,
dikarenakan teori “makna” dalam teori penafsiran klasik diubah menjadi
“pemahaman” yang terkait dengan akal manusia yang terus berkembang dan berubah.
Henry Salahuddin, loc. cit.
[41]Adnin
Armas, Dampak Hermeneutik, op. cit., h. 74.
[42]Richard E.
Palmer, op.cit., h. 45.
[44]Hamid
Fahmy Zarkasyi, op. cit ,h. 8.
[45]Richard E.
Palmer, op.cit., h. 45.
[47]Adnin
Armas, Filsafat Hermeneutika, op. cit., h. 4.
[49]Richard E.
Palmer, op.cit., h. 46.
Hermeneutika
Filosofis Hans-Georg
Gadamer
oleh : Evy Nafisah
oleh : Evy Nafisah
Hans-Georg Gadamer dikenal luas ketika mulai menerbitkan buku Truth and Method tahun 1960, sebuah proyek intelektual yang telah dirintisnya sejak awal tahun 50-an. Namanya kian menjulang ketika terjadi polemik hangat antara dia dengan Habermas dan kritikus-kritikus lain di paro kedua dekade 60-an. Ketika pensiun di tahun 1968, Gadamer sudah mendapat nama Internasional.
Menjadi menarik ketika Truth and Method, karena menganalisis seni dan estetika sebagai titik tolak bagi analisis tentang pemahaman secara umum. Dalam buku ini, Gadamer mempertanyakan kenapa wilayah seni dan estetika menjadi terpinggirkan dalam Geistenswissenschaften. Kalaupun ada disiplin ilmu yang membahasnya, itu hanya dengan menempatkan seni sebagai salah satu fenomena sosiologis dan antropologis. Untuk menyelesaikan persoalan ini, Truth and Method pertama-tama membahas klarifikasi diri metodologis dalam Geistenswissenschaften.
Gadamer menjelaskan permahaman diri Geistenswissenschaften dengan berpatokan pada pendapat Helmholtz yang membedakan ilmu alam dan ilmu sosial; yang pertama dicirikan oleh penerapan logika induktif yang akan menghasilkan hukum-hukum universal, sedangkan yang kedua memperoleh pengetahuan lewat kepekaan psikologis. Disini, Helmholtz mempersoalkan induksi artistik, perasaan instingtif, dan kepakaan artistik, yang kesemuanya tidak memiliki aturan dan hukum yang jelas, sebagaimana yang dipahami dalam ilmu-ilmu alam.
Dalam Truth and Method, persoalan ini kemudian tidak ditangani Gadamer dengan cara terjun ke perdebatan epistemologis tentang keunikan dan perbedaan metode Geistenswissenschaften dengan ilmu alam, sebab ini sudah dilakukan oleh pemikir-pemikir sebelumnya seperti Dilthey, Misch, Rothcher, dan Weber, serta apa yang mereka hasilkan tidak memuaskan menurut Gadamer (hal.104). Gadamer Justru melacak keunikan Geistenswissenschaften kedalam konsep-konsep yang tak akan bisa diutak-atik dengan metode.
Kehadiran buku ini “Hermeneutika Filosofis Hans-Georg Gadamer”, yang di tulis Inyiak Ridwan Muzir, membicarakan refleksi kritis dalam hermeneutika folosofis yang dikemukakan oleh Gadamer tentang pemahaman dan interpretasi yang berlandaskan ontologi keterbatasan temporal Dasein, sebuah hermeneutika yang tidak mengobjektivasi pengalaman dan amat sadar dengan historikalitas pemahaman.
Secara garis besar masalah yang diangkat olehnya adalah; Pertama, pengertian konseptual filosofis hermeneutika filosofis yang dicetuskan Gadamer dalam Truth and Method; Kedua, pengertian hermeneutika filosofis itu akan digunakan untuk melihat Geistenswissenschaften. Disini terlihat bagaimana kekhasan pemikiran Gadamer jika dibandingkan dengan pemikir-pemikir lain, meski sama-sama mengusung hermeneutika sebagai tema besarnya; Ketiga, melihat relevansi hermeneutika filosofis itu bagi Geistenswissenschaften secara kontekstual.
Gadamer beranggapan bahwa di wilayah pengalaman tentang dunia, terdapat kebenaran-kebenaran yang tak tertanggulangi oleh metode-metode ilmiah ilmu pengetahuan modern. Disini, poin terpentingnya bukanlah tentang adanya kebenaran-kebenaran lain yang terdapat di luar jangkauan metode ilmiah, akan tetapi bahwa kebenaran-kebenaran yang diklaim berbagai ilmu itu luruh ke dalam keuniversalan “pengalaman hermeneutis”. Bahwa setiap pemahaman dan teori pemahaman tidak akan bisa mengantarkan manusia pada objek dalam dirinya sendiri, sebab hakikat pengalaman dan pemahaman adalah historis, dan oleh karena itu terbatas.
Geistenswissenschaften sebagai disiplin yang mengkaji makna-makna yang telah dihasilkan manusia lewat kebudayaan dalam rangka pembudidayaan dirinya. Makna yang terkandung dalam ekspresi-ekspresi kultural diwarisi melalui tradisi dan hadir ke masa sekarang sebagai sesuatu yang memajukan klaim kebenaran sendiri dan menuntut untuk diakui dan dipahami.
Proses tersebut memerlukan mediasi historis dan interpretatif yang mustahil berlangsung tanpa bahasa. Sejarah dan pemahaman menjadi ada karena bahasa ada, disinilah letak keuniversalan linguistikalitas pemahaman. Apa yang ingin dihindari hermeneutika filosofis adalah menangkar ekspresi ekspresi linguisits tersebut ke dalam kerangkeng metode demi memperoleh “apa yang sebenarnya”.
Jika filsafat hermeneutik diartikan sebagai kumpulan panduan tentang bagaimana memahami dan meinterpretasi, maka hermeneutik filosofis adalah pengujian teoritis atas syarat kemungkinan filsafat hermeneutis tersebut. Dari sini, bisa dilihat keradikalan hermeneutika filosofis, karena dia mempertanyakan setiap legitimasi pendekatan apa pun terhadap pemahaman dan interpretasi.
Setiap pendekatan bisa menunda atau menambahkan legitimasinya pada hipotesis, sementara filsafat tidak bisa begitu, kerena hakikat tugasnya adalah mempersoalkan legitimasi itu sendiri. Apa pun yang dilakukan di dalam filsafat, dan cara-cara melakukannya bergantung pada legitimasi filosofisnya. Legitimasi kerja-kerja hermeneutis adalah tema-tema filosofis yang paling penting dalam hermeneutika filosofis.(hal.99)
Fenomena hermeneutis sama sekali bukan persoalan metode an sich, bukan pesoalan metode pemahaman yang tepat terhadap sebuah teks, dan bukan pula persoalan kebakuan pengetahuan yang bisa memenuhi kriteria kreteria ilmu pengetahuan modern.
Memahami tradisi bukan hanya urusan menanggapi teks, tapi menangkap ilham dan mengakui kebenaran. Persoalannya adalah ilham apa dan kebenaran yang seperti apa?. Pertanyaan ini tidak menjadi sederhana karena persoalan-persoalan mendasar inilah yang dielaborasi Gadamer dalam beberapa pembahasan Truth and Method, ketika Gadamer memfokuskan diri pada relasi kebenaran dalam Geistenswissenschaften dan bahasa.
Relasi tersebut pada akhirnya mengampungkan klaim universalitas hermeneutika filosofis, karena Gadamer melakukan “peralihan ontologis”. Peralihan ini adalah dari klarifikasi kehidupan historis dalam kepenuhan dan aktualitasnya; artinya, kehidupan historis sebagaimana adanya di lapangan sejarah menuju penyimpulan tentang hakikat kehidupan historis. Dari klarifikasi tersebut, ditemukan bahwa hakikatnya adalah linguistis.***
Gadamer dengan pendekatan Heideggerian dan fenomenalogis. Identifikasi Hermeneutika Baru dengan dengan Gadamer ini adalah implicit dan mutual
*) Peresensi adalah Pustakawan Kutub, Mahasiswa Ilmu Komunikasi FISHUM UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
FILSAFAT
HERMENEUTIKA (HERMENEUTICA PHILOSOPHY)
Oleh
: Syekhuddin
BAB
I
PENDAHULUAN
- A. Latar Belakang
Salah satu
ciri khas filsafat dewasa ini adalah perhatiannya kepada bahasa. Tentu saja,
bahasa bukan merupakan tema baru dalam filsafat. Minat untuk masalah-masalah
yang menyangkut bahasa telihat sepanjang sejarah filsafat, sudah sejak permulaannya
di Yunani. Namun demikian, perhatian filosofis untuk bahasa itu belum pernah
begitu umum, begitu luas dan begitu mendalam seperti dalam abad ke-20.
Dikatakan pula bahwa pada zaman ini bahasa memainkan peranan yang dapat
dibandingkan dengan being (ada) dalam filsafat klasik dulu. Karena
terdapat kemiripan tertentu, yaitu keduanya bersifat universal. Hanya saja being
adalah universal dari sudut objektif: “ada” meliputi segala sesuatu; apa saja
merupakan being. Sedangkan bahasa adalah universal dari sudut subjektif:
bahasa meliputi segala sesuatu yang dikatakan dan diungkapkan.; makna atau arti
hanya timbul dalam hubungan dengan bahasa. Bahasa adalah tema yang
dominan dalam filsafat Eropa kontinental maupun filsafat Inggris dan Amerika.
Di mana-mana dapat kita saksikan the linguistic turn; di mana-mana
refleksi filosofis berbalik kepada bahasa. Dan tidak sedikit aliran mengambil
bahasa sebagai pokok pembicaraan yang hampir eksklusif, seperti misalnya
hermeneutika, strukturalisme, semiotika, dan filsafat analitis.[1]
Teori
tentang asal-usul bahasa telah lama menjadi obyek kajian para ahli, sejak dari
kalangan psikolog, antropolog, filsuf maupun teolog, sehingga lahirlah sub-sub
ilmu dan filsafat bahasa, di antaranya yaitu hermeneutika. Sifat ilmu
pengetahuan adalah selalu berkembang dan berkaitan antara satu disiplin ilmu
dengan disiplin ilmu yang lain. Hermeneutika sering dikelompokkan dalam wilayah
filsafat bahasa, meskipun ia bisa juga mengklaim sebagai disiplin ilmu
tersendiri. Khususnya hermeneutika yang semula sangat dekat kerjanya dengan Biblical
Studies, dengan munculnya buku Truth and Method (1960) oleh
Hans-Geor Gadamer, maka hermeneutika mengembangkan mitra kerjanya pada semua
cabang ilmu. Gadamer mendasarkan klaimnya pada argumen bahwa semua disiplin
ilmu, termasuk ilmu alam, mesti terlibat dengan persoalan understanding
yang muncul antara hubungan subyek dan obyek.[2]
Hermeneutika
adalah kata yang sering didengar dalam bidang teologi, filsafat, bahkan sastra.
Hermeneutik Baru muncul sebagai sebuah gerakan dominan dalam teologi Protestan
Eropa, yang menyatakan bahwa hermeneutika merupakan “titik fokus” dari isu-isu
teologis sekarang. Martin Heidegger tak henti-hentinya mendiskusikan karakter
hermeneutis dari pemikirannya. Filsafat itu sendiri, kata Heidegger, bersifat
(atau harus bersifat) “hermeneutis”.[3]
Sesungguhnya
istilah hermeneutika ini bukanlah sebuah kata baku, baik dalam filsafat maupun
penelitian sastra; dan bahkan dalam bidang teologi penggunaan term ini sering
muncul dalam makna yang sempit yang berbeda dengan penggunaan secara luas dalam
“Hermeneutika Baru” teologis kontemporer.[4]
Hermeneutika
selalu berpusat pada fungsi penafsiran teks.[5]
Meski terjadi perubahan dan modifikasi radikal terhadap teori-teori
hermeneutika, tetap saja berintikan seni memahami teks. Pada kenyataannya,
hermeneutika pra-Heidegger (sebelum abad 20) tidak membentuk suatu tantangan
pemikiran yang berarti bagi pemikiran agama, sekalipun telah terjadi evaluasi
radikal dalam aliran-aliran filsafat hermeneutika. Sementara itu, hermeneutika
filosofis dan turunannya dalam teori-teori kritik sastra dan semantik telah
merintis jalan bagi tantangan serius yang membentur metode klasik dan
pengetahuan agama.[6]
Metode
hermeneutika lahir dalam ruang lingkup yang khas dalam tradisi Yahudi-Kristen.
Perkembangan khusus dan luasnya opini tentang sifat dasar Perjanjian Baru,
dinilai memberi sumbangan besar dalam mengentalkan problem hermeneutis dan
usaha berkelanjutan dalam menanganinya.
Para
filosof hermeneutika adalah mereka yang sejatinya tidak membatasi petunjuk pada
ambang batas tertentu dari segala fenomena wujud. Mereka selalu melihat segala
sesuatu yang ada di alam ini sebagai petunjuk atas yang lain. Jika kita mampu
membedakan dua kondisi ini satu dan yang lainnya, maka kita dapat membedakan
dua macam fenomena: ilmu dan pemahaman. Masalah ilmu dikaji dalam lapangan
epistemologi, sedangkan masalah pemahaman dikaji dalam lapangan hermeneutika.
Sehingga dengan demikian, baik epistemologi dan hermeneutika adalah ilmu yang
berdampingan.[7]
B.
Rumusan Masalah
- Bagaimana asal-usul dan
pengertian hermeneutika?
- Bagaimana latar belakang
munculnya filsafat hermeneutika?
- Bagaimana perkembangan
filsafat hermeneutika beserta para tokohnya?
BAB
II
PEMBAHASAN
- A. Asal-usul dan Defenisi
Hermeneutika
Sebelum
kita mendefinisikan filsafat hermeneutika, kita akan mengetahui terlebih dahulu
asal-mula kata hermeneutika. Sudah umum diketahui bahwa dalam masyarakat Yunani
tidak terdapat suatu agama tertentu, tapi mereka percaya pada Tuhan dalam
bentuk mitologi. Sebenarnya dalam mitologi Yunani terdapat dewa-dewi yang
dikepalai oleh Dewa Zeus dan Maia yang mempunyai anak bernama Hermes. Hermes
dipercayai sebagai utusan para dewa untuk menjelaskan pesan-pesan para dewa di
langit. Dari nama Hermes inilah konsep hermeneutic kemudian digunakan.[8] Kata
hermeneutika yang diambil dari peran Hermes adalah sebuah ilmu dan seni
menginterpretasikan sebuah teks.
Hermes
diyakini oleh Manichaeisme sebagai Nabi. Dalam mitologi Yunani, Hermes yang
diyakini sebagai anak dewa Zeus dan Maia bertugas menyampaikan dan
menginterpretasikan pesan-pesan dewa di gunung Olympus ke dalam bahasa yang
dipahami manusia. Hermes mempunyai kaki bersayap dan dikenal dengan Mercurius dalam
bahasa Latin. Menurut Abed al-Jabiri dalam bukunya Takwīn al-‘Aql al-‘Ârabi,
dalam mitologi Mesir kuno, Hermes/Thoth adalah sekretaris Tuhan atau orisin
Tuhan yang telah menulis disiplin kedokteran, sihir, astrologi dan geometri.[9] Hermes
yang dikenal oleh orang Arab sebagai Idris as, disebut Enoch oleh orang Yahudi.[10] Baik
Idris as, Hermes, Thoth, dan Enoch adalah merupakan orang yang sama.
Sosok
Hermes ini oleh Sayyed Hossein Nasr kerap diasosiasikan sebagai Nabi Idris as.
Menurut legenda yang beredar bahwa pekerjaan Nabi Idris adalah sebagai tukang
tenun. Jika profesi tukang tenun dikaitkan dengan mitos Yunani tentang peran
dewa Hermes, ternyata terdapat korelasi positif. Kata kerja “memintal” dalam
bahasa latin adalah tegree, sedang produknya disebut textus atau text,
memang merupakan isu sentral dalam kajian hermeneutika. Bagi Nabi Idris as atau
Dewa Hermes, persoalan yang pertama dihadapi adalah bagaimana menafsirkan pesan
Tuhan yang memakai “bahasa langit” agar bisa dipahami oleh manusia yang
menggunakan bahasa “bumi”. Di sini barangkali terkandung makna metaforis tukang
pintal, yakni memintal atau merangkai kata dan makna yang berasal dari Tuhan
agar nantinya pas dan mudah dipahami (dipakai) oleh manusia [11]
Hermeneutika
(Indonesia), hermeneutics (Inggris), dan hermeneutikos (Greek) secara bahasa
punya makna menafsirkan. Seperti yang dikemukakan Zygmunt Bauman, hermeneutika
berasal dari bahasa Yunani hermeneutikos berkaitan dengan upaya “menjelaskan
dan memelusuri” pesan dan pengertian dasar dari sebuah ucapan atau tulisan yang
tidak jelas, kabur, dan kontradiksi, sehingga menimbulkan keraguan dan
kebingungan bagi pendengar atau pembaca.[12]
Akar kata
hermeneutika berasal dari istilah Yunani dari kata kerja hermēneuein
(menafsirkan) atau kata benda hermēneia (interpretasi).[13]
Al-Farabi mengartikannya dengan lafal Arab al-‘ibāroh (ungkapan).[14] Kata
Yunani hermeios mengacu kepada seorang pendeta bijak Delphic. Kata hermeios
dan kata kerja hermēneuien dan kata benda hermēneia biasanya
dihubung-hubungkan dengan Dewa Hermes, dari situlah kata itu berasal. Hermes
diasosiasikan dengan fungsi transmisi apa yang ada di balik pemahaman manusia
ke dalam bentuk apa yang dapat ditangkap oleh intelegensia manusia.[15] Kurang
lebih sama dengan Hermes, seperti itu pulalah karakter dari metode
hermeneutika.
Dengan
menelusuri akar kata paling awal dalam Yunani, orisinalitas kata modern dari
“hermeneutika” dan “hermeneutis” mengasumsikan proses “membawa sesuatu untuk
dipahami”, terutama seperti proses ini melibatkan bahasa, karena bahasa
merupakan mediasi paling sempurna dalam proses.[16]
Mediasi
dan proses membawa pesan “agar dipahami” yang diasosiasikan dengan Hermes ini
terkandung di dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia
dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja dari hermēneuein,
yaitu: (1) mengungkapkan kata-kata, misalnya “to say”; (2) menjelaskan;
(3)menerjemahkan. Ketiga makna itu bisa diwakilkan dalam bentuk kata kerja
bahasa Inggris, “to interpret.” Tetapi masing-masing ketiga makna itu
membentuk sebuah makna independen dan signifikan bagi interpretasi. [17]
Sebagai
turunan dari simbol dewa, hermeneutika berarti suatu ilmu yang mencoba
menggambarkan bagaimana sebuah kata atau suatu kejadian pada waktu dan budaya
yang lalu dapat dimengerti dan menjadi bermakna secara eksistensial dalam
situasi sekarang. Dengan kata lain, hermeneutika merupakan teori pengoperasian
pemahaman dalam hubungannya dengan interpretasi terhadap sebuah Teks.[18]
Dalam Webster’s
Third New International Dictionary dijelaskan definisinya, yaitu “studi
tentang prinsip-prinsip metodologis interpretasi dan eksplanasi; khususnya
studi tentang prinsip-prinsip umum interpretasi Bibel.” Setidaknya ada
tiga bidang yang sering akrab dengan term hermeneutika: teologi, filsafat, dan sastra.[19]
Persoalan
utama hermeneutika terletak pada pencarian makna teks, apakah makna obyektif
atau makna subyektif. Perbedaan penekanan pencarian makna pada ketiga unsur
hermeneutika: penggagas, teks dan pembaca, menjadi titik beda masing-masing
hermeneutika. Titik beda itu dapat dikelompokkan menjadi tiga kategori
hermeneutika: hermeneutika teoritis, hermeneutika filosofis, dan hermeneutika
kritis. Pertama, hermeneutika teoritis. Bentuk hermeneutika seperti ini
menitikberatkan kajiannya pada problem “pemahaman”, yakni bagaimana memahami
dengan benar. Sedang makna yang menjadi tujuan pencarian dalam hermeneutika ini
adalah makna yang dikehendaki penggagas teks. Kedua, hermeneutika
filosofis. Problem utama hermeneutika ini bukanlah bagaimana memahami teks
dengan benar dan obyektif sebagaimana hermeneutika teoritis. Problem utamannya
adalah bagaimana “tindakan memahami” itu sendiri. Ketiga, hermeneutika
kritis. Hermeneutika ini bertujuan untuk mengungkap kepentingan di balik teks.
hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar teks sebagai
problem hermeneutiknya.[20]
- B. Latar Belakang Munculnya
Filsafat Hermeneutika
Werner G.
Jeanrond menyebutkan tiga milieu penting yang berpengaruh terhadap timbulnya
hermeneutika sebagai suatu ilmu atau teori interpretasi:
Pertama
milieu masyarakat yang terpengaruh
oleh pemikiran Yunani.
Kedua
milieu masyarakat Yahudi dan Kristen
yang menghadapi masalah teks kitab “suci” agama mereka dan berupaya mencari
model yang cocok untuk intepretasi untuk itu.
Ketiga
milieu masyarakat Eropa di zaman
Pencerahan (Enlightenment) berusaha lepas dari tradisi dan otoritas
keagamaan dan membawa hermeneutika keluar konteks keagamaan.[21]
Dari
mitologi Yunani ke teologi Kristen
Konsep
hermeneutika yang digunakan dari nama Hermes ini resminya digunakan untuk
kebutuhan kultural bagi menentukan makna, peran dan fungsi teks-teks
kesusasteraan yang berasal dari masyarakat Yunani kuno, khususnya epik-epik
karya Homer.[22]
Meskipun
interpretasi hermeneutis telah dipraktekkan dalam tradisi Yunani, namun istilah
hermeneutike baru pertama kali ditemui dalam karya Plato (429-347 SM) Politikos,
Epinomis, Definitione dan Timeus. Dalam Definitione Plato
dengan jelas menyatakan hermeneutika artinya “menunjukkan sesuatu” yang
tidak terbatas pada pernyataan, tapi meliputi bahasa secara umum,
penterjemahan, interpretasi, dan juga gaya bahasa dan retorika. Sedangkan dalam
Timaeus Plato menghubungkan hermeneutika dengan pemegang otoritas
kebenaran, yaitu bahwa kebenaran hanya dapat dipahami oleh “nabi”. Nabi disini
maksudnya adalah mediator antara para dewa dengan manusia.[23]
Dalam
menghadapi problema terjadinya krisis otoritas di kalangan penyair dalam
memahami mitologi atau sesuatu yang bersifat divine, misalnya masyarakat
Yunani menyelesaikan dengan konsep rational logos.[24]
Stoicisme
(300 SM) kemudian mengembangkan hermeneutika sebagai ilmu intepretasi alegoris,
yaitu metode memahami teks dengan cara mencari makna yang lebih dalam dari
sekedar pengertian literal. Sejalan dengan itu maka untuk intepretasi alegoris
terhadap mitologi, Stoic menerapkan doktrin inner logos dan outer logos
(inner word and outer word). Metode alegoris kemudian dikembangkan lebih
lanjut oleh Philo of Alexandria (20 SM-50 M), seorang Yahudi yang kemudian
dianggap sebagai Bapak metode alegoris. Metode yang juga disebut typology itu
intinya mengajarkan bahwa pemahaman makna spiritual suatu teks tidak berasal
dari teks atau dari informasi teks, tapi melalui pemahaman simbolik yang
merujuk sesuatu di luar teks. Metode hermeneutika alegoris ini kemudian
ditransmisikan ke dalam pemikiran teologi Kristen. Tokohnya, Origen (sekitar
185-254 M) telah berhasil menulis penjelasan Kitab Perjanjian Lama dengan
metode ini.[25]
Namun,
metode alegoris yang berpusat di Alexandria ini ditentang oleh kelompok yang
membela metode literal (grammatical) yang berpusat di Antioch.
Pertentangan antara kelompok Alexandria dan Antioch mereprentasikan
pertentangan metode interpretasi simbolik dan literal. Yang pertama berada
dibawah pengaruh hermeneutika Plato sedangkan yang kedua berada dibawah
bayang-bayang hermeneutika Aristotle.
Dari
pertentangan antara dua konsep hermeneutika Alexandria dan Antioch ini seorang
teolog dan filosof Kristen St.Augustine of Hippo (354-430 M) mengambil jalan
tengah. Ia lalu memberi makna baru kepada hermeneutika dengan memperkenalkan
teori semiotik (teori tentang simbol). Teori ini dimaksudkan untuk dapat
mengontrol terjadinya distorsi bacaan alegoris teks Bible yang cenderung
arbitrer, dan juga dari literalisme yang terlalu simplistik.
Perkembangan
pemikiran hermeneutika dalam teologi Kristen terjadi pada abad pertengahan yang
dibawa oleh Thomas Aquinas (1225-1274). Kemunculannya yang didahului oleh
transmisi karya-karya Aristotle ke dalam milieu pemikiran Islam mengindikasikan
kuatnya pengaruh pemikiran Aristotle dan Aristotelian Muslim khususnya
al-Farabi (870-950), Ibn Sina (980-1037) dan Ibn Rushd (1126-1198). Dalam
karyanya Summa Theologia ia menunjukkan kecenderungan filsafat
naturalistic Aristotle yang juga bertentangan dengan kecenderungan Neo-Platonis
St.Augustine. Ia mengatakan bahwa “pengarang kitab suci adalah Tuhan” dan
sesuatu yang perlu dilakukan oleh para teolog adalah pemahaman literal.
Pemahaman literal lebih banyak merujuk kepada hermeneutika Aristotle dalam Peri
Hermenias nya. Tujuannya adalah untuk menyusun teologi Kristen agar
memenuhi standar formulasi ilmiah dan sekaligus merupakan penolakannya terhadap
interpretasi alegoris.[26]
Di awal
abad pertengahan, hermeneutika masih berada dalam sangkar teologi Kristen tapi
masih berada dibawah pengaruh pemikiran filsafat dan mitologi Yunani. Ketika
teks Bible sendiri mulai digugat dan dan otoritas gereja mulai goyah pengaruh
pandangan hidup ilmiah dan rasional Barat (scientific and rational worldview)
mulai muncul membawa hermeneutika kepada makna baru yaitu filosofis.
Dari
teologi dogmatis kepada spirit rasionalisme
Bagaimanapun
resistensi para teolog Kristen terhadap perkembangan sains yang dipengaruhi
oleh pandangan hidup ilmiah Barat, hermeneutika terus menjadi diskursus yang
menarik kalangan teolog Kristen masa itu. Pertanyaan hermeneutika yang diangkat
pun bergeser menjadi bagaimana menangkap realitas yang terkandung dalam teks
kuno seperti Bible dan bagaimana menterjemahkan realitas tersebut ke dalam
bahasa yang dipahami oleh manusia modern. Yang selalu dimuculkan adalah masalah
adanya gap antara bahasa modern dan bahasa teks Bible, dan cara penulis-penulis
Bible berfikir tentang diri mereka dan cara berfikir masyarakat Kristen modern.
Dunia teks
akhirnya dianggap sebagai representasi dari dunia mitos dan masyarakat modern
dianggap mewakili dunia ilmiah. Hermeneutika kini membahas bagaimana kejadian
dan kata-kata masa lampau menjadi berarti dan relevan bagi eksistensi manusia
tanpa menghilangkan esensi pesannya.
Bel
pertama untuk pemakaian hermeneutika sebagai the art of interpretation
dapat ditemui dalam karya J.C.Dannheucer yang berjudul Hermeneutica Sacra
Sive Methodus exponendarum Sacrarum litterarum, (Sacred Method or the Method
of Explanation of Sacred Literature), terbit pada tahun 1654. Di
situ hermeneutika sudah mulai dibedakan dari exegesis sebagai metodologi
interpretasi. Meskipun pengertiannya tetap sama tapi obyeknya diperluas kepada non-Biblical
literature.[27]
Benedictus
de Spinoza (1632-1677) dalam karyanya tahun 1670 berjudul Tractatus
theologico-politicus (Risalah tentang politik teologi) menyatakan bahwa
“standar eksegesis untuk Bible hanyalah akal yang dapat diterima oleh semua”.[28]
Perlahan-lahan hermeneutika dalam pengertian baru ini diterima sebagai
alat penafsiran (exgesis) Kitab Suci, dan juga menjadi pengantar disiliplin
ilmu interpretasi.
Tanda-tanda
beralihnya diskursus hermeneutika dari teologi yang dogmatis kepada semangat
rasionalisme sudah mulai nampak sejak terjadinya gerakan Reformasi Protestan
pada abad ke-16. Mulai abad ini hermeneutika mengalami perkembangan dan
memeperoleh perhatian yang lebih akademis dan serius ketika kalangan ilmuwan
gereja di Eropa terlibat diskusi dan debat mengenai otentisitas Bibel dan
mereka ingin memperoleh kejelasan serta pemahaman yang benar mengenai kandungan
Bibel yang dalam berbagai hal dianggap bertentangan.[29]
Tanda ini
bertambah jelas pada periode Pencerahan (Enlightenment) pada abad
berikutnya. Memasuki abad ke 18, hermeneutika mulai dirasakan sabagai teman
sekaligus tantangan bagi ilmu sosial, utamanya sejarah dan sosiologi, karena
hermeneutika mulai berbicara dan menggugat metode dan konsep ilmu sosial. Pada
pertengahan abad ini di Eropa bangkit sebuah apresiasi tentang karya-karya seni
klasik, hermeneutika sebagai metode penafsiran menjadi sangat penting
peranannya. Karena sebuah karya seni merupakan contoh perwujudan paling riil
dari sebuah jalinan yang unik antara sang pencipta, proses pensiptaan dan karya
cipta.[30]
Perkembangan
makna hermeneutika dari sekedar pengantar ilmu interpretasi menuju kepada
metodologi pemahaman, dilontarkan oleh seorang pakar filololgi Friedriech Ast
(1778-1841). Dalam bukunya Grundlinien der Grammatik Hermenutik und Kritik (Elements
of Grammar, Hermeneutic and Criticism) Ast membagi pemahaman terhadap teks
menjadi 3 tingkatan: 1) pemahaman historis, yakni pemahaman berdasarkan pada
perbandingan teks dengan teks yang lain. 2) pemahaman ketata-bahasaan, yaitu
merujuk kepada pemahaman makna kata pada teks, dan 3) pemahaman spiritual,
yakni pemahaman yang merujuk kepada semangat, wawasan, mentalitas dan pandangan
hidup pengarang, tapi terlepas dari konotasi teologis ataupun psikologis.[31]
Pada
tingkat ini pergeseran diskursus hermeneutika dari teologi ke filsafat masih
berkutat pada perubahan fungsi hermeneutika dari teori interpretasi teks Bibel
secara rasional menjadi pemahaman segala teks selain Bibel. Disini hermeneutika
berkembang dalam milieu yang didominasi oleh para teolog yang telah bersentuhan
dengan pemikiran filsafat Barat.
Dari
teologi protestan kepada filsafat
Abad ke 18
dianggap sebagai awal periode berlakunya proyek modernitas, yaitu pemikiran
rasional yang menjanjikan pembebasan (liberasi) dari irrasionalitas mitologi,
agama dan khurafat. Ketika gerakan desakralisasi atau dalam bahasa Weber ‘disenchantment’
terjadi di Barat, ilmu diletakkan dalam posisi berlawanan dengan agama yang
dianggap penyebab kemunduran.
Pada abad
ke-17 dan 18 pendekatan kritis terhadap Bibel (Perjanjian Lama dan Perjanjian
Baru) yang merupakan bagian dari hermeneutika teologis telah berkembang. Studi
kritis perjanjian lama telah menekankan kepada struktur atau bahasa teks
sebagai cara untuk memahami isi. Studi in juga menyandarkan pada bukti internal
teks sebagai dasar diskusi mengenai integritas dan pengarang teks, kemudian
mencari situasi sosiologis dan historis sebagai konteks untuk memahami
asal-mula dan penggunaan materi. Studi kritis Perjanjian Baru melahirkan banyak
teks-teks tandingan terhadap textus receptus edisi Erasmus. Studi
tersebut menyatakan bahwa Kalam Tuhan (Word of God) dan Kitab Suci (Holy
Scripture) tidak identik, bagian-bagian dari Bibel bukanlah inspirasi dan
tidak dapat diterima secara otoritatif. [32] Di dalam
milieu pemikiran inilah makna hermeneutika berubah menjadi metodologi filsafat.
- C. Perkembangan Filsafat
Hermeneutika beserta para Tokohnya
Terdapat
sejumlah tokoh yang memberi sumbangan dalam perkembangan filsafat hermeneutika,
di antaranya adalah:
- 1. Friedrich Daniel Ernst
Schleiermacher (1768-1834).
Schleiermacher,
seorang Protestan dan pernah menjadi Rektor di Universitas Berlin pada tahun
1815-1816, digelar sebagai “the founder of General Hermeneutics.” Gelar
tersebut diberikan karena pemikirannya dianggap telah memberi nuansa baru
dalam teori penafsiran.[33] Materi
kuliahnya “universal hermeneutic” menjadi rujukan Gadamer dan
berpangaruh terhadap pemikiran Weber dan Dilthey. Ia dianggap sebagai filosof
Jerman pertama yang terus menerus memikirkan persoalan-persoalan hermeneutika.
Karena itu ia dianggap sebagai Bapak Hermeneutika modern dan juga pendiri
Protestan Liberal.[34]
Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang bukan lagi terbatas kepada
idiom filologi maupun eksegesis Bibel, melainkan prinsip-prinsipnya bisa
digunakan sebagai fondasi bagi semua ragam interpretasi teks.
Schleiermacher
mengadakan reorientasi paradigma dari “makna” teks kepada “pemahaman” teks.
Rasionalitas modern seperti dianut oleh mazhab protestantisme telah mengubah
makna literal Bible yang selama ini dianggap oleh mazhab resmi gereja sebagai
“makna historis” menjadi “pemahaman historis” yang segala sesuatunya merujuk
kepada masa silam. Afiliasi suatu teks kepada masa silam itu menyebabkan
kehadirannya di masa kini menjadi sebentuk kecurigaan; mengapa teks yang
merespon kejadian masa lalu harus menjadi jawaban problem kekinian?! Tidak kah
lebih baik jika teks masa silam itu dienyahkan karena realitas yang terus
berubah dari waktu ke waktu?[35]
Schleiermacher
menjadikan persoalan hermeneutis sebagai persoalan universal dan mengajukan
teori pemahaman yang filosofis untuk mengatasinya. Ia merubah makan
hermeneutika dari sekedar kajian teks Bibel menjadi metode memahami dalam
pengertian filsafat. Dalam pandangan Schleiermacher, tradisi hermeneutika
filologis[36]
dan hermeneutika teologis[37] bisa
berinteraksi, yang membuka kemungkinan untuk mengembangkan teori umum mengenai
pemahaman dan penafsiran. Paul Ricoeur berpendapat hermeneutika lahir dengan
usaha untuk menaikkan penafsiran Bibel dan filologis ke tingkat ilmiah, yang
tidak terbatas kepada metode yang khusus. Dengan mensubordinasikan
kaidah-kaidah dalam tafsir Bibel dan filologis kepada problem penafsiran yang
umum, maka teori penafsiran Schleiermacher disebut juga dengan hermeneutika
universal (universal hermeneutics).[38]
Schleirmacher
telah menumbuhkan asas seni pemahaman teks; pemahaman yang selalu terkait
mengikuti perkembangan dari setiap orang dan dari satu zaman ke zaman yang
lain. Jarak pemisah antara zaman produksi teks dengan zaman pemahaman kekinian
sedemikian meluas dan membentang, sehingga diperlukan ilmu yang mencegah
kekeliruan pemahaman. Atas dasar itu, Schleirmacher meletakkan kaidah pemahaman
teks yang terbatas pada dua aspek utama yaitu: aspek kebahasaan (penafsiran
tata bahasa) dan aspek kemampuan menembus karakter psikis pengarang (penafsiran
psikologi). Kedua aspek itu saling melengkapi satu dengan lainnya.[39]
Tugas kaedah hermeneutik Schleirmacher-ian itu adalah untuk sejauh mungkin
memahami teks seperti yang dipahami pengarangnya dan bahkan lebih baik dari apa
yang dipahami oleh si pengarang (merekonstruksi pikiran pengarang). Tugas
itulah yang kemudian dikenal dengan “Hermeneutical Circle”.[40]
Jadi,
bukan saja setiap unit, tata bahasa harus dipahami dalam konteks keseluruhan
ucapan, tetapi ucapan juga harus dipahami dari konteks keseluruhan mental
pengarang (the part whole principle). Jika tugas tersebut dilakukan oleh
seorang interpreter maka Schleirmacher menyimpulkan sesorang penafsir akan bisa
memahami teks sebaik atau bahkan lebih baik daripada pengarangnya sendiri, dan
memahami pengarang teks tersebut lebih baik daripada pengarang sendiri.[41]
- 2. Wilhelm Dilthey (1833-1911)
Wilhelm
adalah penulis biografi Scleiermacher dan salah satu pemikir filsafat besar
pada akhir abad ke-19. Dia melihat hermeneutika adalah inti disiplin yang
dapat digunakan sebagai fondasi bagi geisteswissenschaften (yaitu, semua
disiplin yang memfokuskan pada pemahaman seni, aksi, dan tulisan manusia).[42]
Wilhelm Dilthey adalah seorang filosof, kritikus sastra, dan sejarawan asal
Jerman.
Bagi
filosof yang pakar metodologi ilmu-ilmu sosial ini, hermeneutika adalah “tehnik
memahami ekspresi tentang kehidupan yang tersusun dalam bentuk tulisan”. Oleh
karena itu ia menekankan pada peristiwa dan karya-karya sejarah yang merupakan
ekspresi dari pengalaman hidup di masa lalu. Untuk memahami pengalaman tersebut
intepreter harus memiliki kesamaan yang intens dengan pengarang. Bentuk
kesamaan dimaksud merujuk kepada sisi psikologis Schleiermacher.
Pada
bagian awal pemikirannya, Dilthey berusaha membumikan kritiknya ke dalam sebuah
transformasi psikologis. Namun karena psikologi bukan merupakan disiplin
historis, usaha-usahanya ia hentikan.[43] Ia
menolak asumsi Schleiermacher bahwa setiap kerja pengarang bersumber dari
prinsip-prinsip yang implisit dalam pikiran pengarang. Ia anggap asumsi ini
anti-historis sebab ia tidak mempertimbangkan pengaruh eksternal dalam
perkembangan pikiran pengarang. Selain itu Dilthey juga mencoba mengangkat
hermeneutika menjadi suatu disiplin ilmu yang memisahkan ilmu pengetahuan
sosial dan ilmu pengetahuan alam dan mengembangkannya menjadi metode-metode dan
aturan-aturan yang menentukan obyektifitas dan validitas setiap ilmu. Bagi
Dilthey hermeneutika universal memerlukan prinsip-prinsip epistemologi yang
mendukung pengembangan ilmu-ilmu sosial.[44]
Menurutnya,
dalam tindakan pemahaman historis, yang harus berperan adalah pengetahuan
pribadi mengenai apa yang dimaksudkan manusia. Jika Kant menulis Crituque of
Pure Reason, ia mencurahkan pemikiran untuk gagasan Crtique of
Historical Reason.[45]
Wilhelm
Dilthey mengawalinya dengan memilah-milah ilmu menjadi dua disiplin: ilmu alam
dan ilmu sosial-humaniora. Yang pertama menjadikan alam sebagai obyek
penelitiannya, yang kedua manusia. Oleh karena obyek dari ilmu alam berada di
luar subyek, ia diposisikan sebagai sesuatu yang datang kepada subyek,
sebaliknya karena obyek ilmu sosial-humaniora berada di dalam subyek itu
sendiri, keduanya seolah tak terpisah. Yang membedakan kedua disiplin ilmu ini
menurut Dilthey bukan obyeknya semata, tapi juga orientasi dari subyek
pengetahuan, yakni “sikapnya” terhadap obyek. Dengan demikian, perbedaan kedua
disiplin ilmu tersebut bersifat epistemologis, bukan ontologis. Secara
epistemologis, Dilthey menganggap disiplin ilmu alam menggunakan penjelasan (Erklaren),
yakni menjelaskan hukum alam menurut penyebabnya dengan menggunakan teori.
Sebab, pengalaman dengan teori terpisah. Sedang disiplin ilmu sosial-humaniora
mengunakan pemahaman (Verstehen), dengan tujuan untuk menemukan makna
obyek, karena di dalam pemahaman, terjadi pencampuran antara pengalaman dan
pemahaman teoritis. Dilthey menganggap makna obyektif yang perlu dipahami dari
ilmu humaniora adalah makna teks dalam konteks kesejarahaannya. Sehingga,
hermeneutika menurut Dilthey bertujuan untuk memahami teks sebagai ekspresi
sejarah, bukan ekspresi mental penggagas. Karena itu, yang perlu direkonstruksi
dari teks menurut Dilthey, adalah makna dari peristiwa sejarah yang mendorong
lahirnya teks.[46]
Dilthey
menjadihan hermeneutika sebagai komponen utama bagi fondasi ilmu humaniora (Geistesswissenchaften).
Ambisi ini menyebabkan Dilthey telah meluaskan penggunaan hermeneutika ke dalam
segala disiplin ilmu humaniora. Jadi, dalam pandangan Dilthey, teori
hermeneutika telah berada jauh di atas persoalan bahasa.[47]
- 3. Martin Heidegger (1889-1976)
Latar
belakang intelektualitas Heidegger berada dibawah pengaruh fisika, metafisika
dan etika Aristotle yang di interpretasikan oleh Husserl dengan metode
fenomenologinya. Pendiri fenomenologi, Edmund Husserl, adalah guru dan
sekaligus kawan yang paling dihormati dan disegani oleh Heidegger. Pemikiran
Heidegger sangat kental dengan nuansa fenomenologis, meskipun akhirnya Heidegger
mengambil jalan menikung dari prinsip fenomenologi yang dibangun Husserl.
Fenomenologi Husserl lebih bersifat epistemologis karena menyangkut pengetahuan
tentang dunia, sementara fenomenologi Heidegger lebih sebagai ontologi karena
menyangkut kenyataan itu sendiri. Heidegger menekankan, bahwa fakta keberadaan
merupakan persoalan yang lebih fundamental ketimbang kesadaran dan pengetahuan
manusia, sementara Husserl cenderung memandang fakta keberadaan sebagai sebuah datum
keberadaan. Heidegger tidak memenjara realitas dalam kesadaran subjektif,
melainkan pada akhirnya realitas sendiri yang menelanjangi dirinya di hadapan
subjek. Bagi Heidegger, realitas tidak mungkin dipaksa untuk menyingkapkan
diri. Realitas, mau tidak mau, harus ditunggu agar ia menyingkapkan diri.[48]
Heidegger
mengembangkan hermeneutika sebagai interpretasi yang berdimensi ontologis.
Dalam pandangan Heidegger, pemahaman (verstehen) bukanlah sebuah metode.
Menurutnya pemahaman lebih dari sekedar metode. Sebabnya pemahaman telah wujud
terlebih dahulu (pre-reflective understanding) sebelum merefleksikan
sesuatu. Heidegger menamakan pra-pemahaman tersebut sebagai Dasein, yang
secara harfiah berarti disana-wujud.[49]
Apa yang
ditulis Heidegger sebagai hermeneutika tidak bisa dipahami dalam pengertian
pemahaman yang subjektif. Hermeneutika juga bukan hanya sebuah metode
pengungkapan realitas. Hermeneutika adalah hakikat keberadaan manusia yang
menyingkap selubung Ada (Sein). Ia tidak berada dalam pengertian
subjek-objek, di mana pemahaman tentang objek berangkat dari persepsi kategoris
dalam diri subjek. Subjek tidak memahami sejauh objek tidak mengungkapkan diri.
Subjek tergantung kepada pengungkapan objek. Dan sebetulnya term subjek dan
objek di sini tidak tepat, sebab Dasein adalah seinde yang
memiliki kemampuan yang lain. Dikatakan Dasein karena cara beradanya
berbeda dengan benda-benda lain (seinde) yang ada begitu saja. Dasein
berarti mengada di sana. Terdapat nuansa aktifitas dari Dasein. Dasein
adalah satu-satunya seinde yang secara ontologis mampu keluar dari
dirinya sendiri (Existenz) guna menguakkan adanya sendiri dan adanya seinde
lainnya.[50]
Sekalipun
Heidegger masih tidak mengidentikkan antara manusia yang menginterpretasi atau
berpikir dan yang diintrepretasi atau yang dipikirkan, tetapi ia tidak bisa
dipisahkan sama sekali. Intensionalitas Husserl tidak dibuang sama sekali, tapi
digunakan dalam pengertian yang lain, yaitu bahwa faktisitaslah yang menjadi
anutan kesadaran. Bukan kita yang menunjuk benda, tapi benda itu sendiri yang
menunjukkan dirinya. Interpretasi manusia dibaca dalam pengertian ontologis
karena ia merupakan hakekat manusia itu sendiri. Berpikir (menginterpretasi)
adalah Dasein itu sendiri. Berpikir, dalam pengertian Heidegger,
bukan menggambarkan, bukan memvisualisasikan sesuatu di depan mata, bukan
merefleksi, melainkan bertanya dan meminta keterangan, mendengarkan dengan
penuh rasa hormat suara Ada, menunggu dengan bertanya dan mendengarkan Ada.[51]
Heidegger
menghubungkan kajian tentang makna kesejarahan dengan makna kehidupan. Teks
tidak cukup dikaji dengan kamus dan grammar, ia memerlukan pemahaman terhadap
kehidupan, situasi pengarang dan audiennya. Hermeneutikanya tercermin dalam
karyanya Being and Time. Dasein (suatu keberadaan atau eksistensi yang
berhubungan dengan orang dan obyek) itu sendiri sudah merupakan pemahaman, dan
interpretasi yang essensial dan terus menerus.[52]
Martin
Heidegger mencoba memahami teks dengan metode eksistensialis. Ia menganggap
teks sebagai suatu “ketegangan” dan “tarik-menarik” antara kejelasan dan ketertutupan,
antara ada dan tidak ada. Eksistensi, menurut Heidegger, bukanlah eksistensi
yang terbagi antara wujud transendent dan horisontal. Semakin dalam kesadaran
manusia terhadap eksistensinya, maka sedalam itu pula lah pemahamannya atas
teks; karena itu, teks tidak lagi mengungkapkan pengalaman historis yang
terkait dengan suatu peristiwa. Dengan pengalaman eksistensialnya itulah
manusia bisa meresapi wujudnya dan cara dia bereksistensi sebagai unsur penegas
dalam proses memahami suatu teks.[53]
Heidegger
mencoba memberikan pengertian lain kepada bahasa dan tidak hanya berkutat pada
pengertian bahasa sebagai alat komunikasi saja. Bahasa merupakan artikulasi
eksistensial pemahaman. Bahasa kemudian juga bermakna ontologis. Antara
keberadaan, kemunculan, dan bahasa, saling mengandalkan. Bersama pikiran,
bahasa adalah juga ciri keberadaan manusia. Dalam bahasa, Ada mengejawantah.
Oleh karenanya, interpretasi merupakan kegiatan membantu terlaksananya
peristiwa bahasa, karena teks mempunyai fungsi hermeneutik sebagai tempat
pengejawantahan Ada itu sendiri.[54]
Hermeneutika
Heidegger telah mengubah konteks dan konsepsi lama tentang hermeneutika yang
berpusat pada analisa filologi interpretasi teks. Heidegger tidak berbicara
pada skema subjek-objek, klaim objektivitas, melainkan melampaui itu semua
dengan mengangkat hermeneutika pada tataran ontologis.
- 4. Hans-Georg Gadamer
(1900-1998)
Gadamer
menegaskan bahwa pemahaman adalah persoalan ontologis. Ia tidak menganggap
hermeneutika sebagai metode, sebab baginya pemahaman yang benar adalah
pemahaman yang mengarah pada tingkat ontologis bukan metodologis. Artinya
kebenaran dapat dicapai bukan melalui metode tapi melalui dialektika, dimana
lebih banyak pertanyaan dapat diajukan. Dan ini disebut filsafat praktis.[55]
Gadamer melontarkan konsep “pengalaman” historis dan dialektis, di mana
pengetahuan bukan merupakan bias persepsi semata tetapi merupakan kejadian,
peristiwa, perjumpaan.[56] Gadamer
menegaskan makna bukanlah dihasilkan oleh interioritas individu tetapi dari
wawasan-wawasan sejarah yang saling terkait yang mengkondisikan pengalaman
individu. Gadamer mempertahankan dimensi sejarah hidup pembaca.[57]
Filsafat
hermeneutika Gadamer meniscayakan wujud kita berpijak pada asas hermeneutis,
dan hermeneutika berpijak pada asas eksistensial manusia. Ia menolak segala
bentuk kepastian dan meneruskan eksistensialisme Heidegger dengan titik tekan
logika dialektik antara aku (pembaca) dan teks/karya. Dialektika itu mesti
difahami secara eksistensialis, karena hakikatnya memahami teks itu sama dengan
pemahaman kita atas diri dan wujud kita sendiri. Pada saat kita membaca suatu
karya agung, ketika itu kita lantas menghadirkan pengalaman-pengalaman hidup
kita di masa silam, sehingga melahirkan keseimbangan pemahaman atas diri kita
sendiri. Proses dialektika memahami karya seni berdiri atas asas pertanyaan
yang diajukan karya itu kepada kita; pertanyaan yang menjadi sebab karya itu
ada.[58]
Dia
umpamakan pemahaman manusia sebagai interpretasi-teks. Dalam proses memahami
teks selalu didahului oleh pra-pemahaman sang pembaca dan kepentingannya untuk
berpatisipasi dalam makna teks. Kita mendekati teks selalu dengan seperangkat
pertanyaan atau dengan potensi kandungan makna dalam teks. Melalui horizon
ekspektasi inilah kita memasuki proses pemahaman yang terkondisikan oleh
realitas sejarah. Hermeneutika dalam pengertian Gadamer adalah interpretasi
teks sesuai dengan konteks ruang dan waktu interpreter. Inilah yang ia sebut
dengan effective historical consciousness yang struktur utamanya adalah
bahasa.[59]
Menurut
Gadamer, pemahaman bukanlah salah satu daya psikologis yang dimiliki manusia,
namun pemahaman adalah kita. Oleh sebab itu, ilmu tanpa pra-duga adalah tidak
terjadi. Kita gagal memahami hermeneutic circle, jika kita berusaha
keluar dari lingkaran tersebut. Menurut Gadamer, ketika kita berusaha memahami
sebuah teks kita akan berhadapan dengan koherensi relatif dari ruang lingkup
makna. Jadi, sebenarnya ada dua metode yang perlu dihindari ketika memahami
sesuatu. Pertama, sikap reduktif ketika dengan seenaknya memasukkan
konsep kita sendiri dengan berlebih-lebihan ke dalam ruang lingkup budaya,
sehingga menafikan kekhususan maknanya; kedua, sikap self-effacement
ketika kita menafikan kepentingan kita sendiri dengan berusaha masuk ke dalam
kacamata orang lain. Kedua metode tersebut tidak menyelesaikan persoalan ilmu
yang objektif karena masih terjerat dengan dikotomisasi antara subjek atau
objek, padahal kondisi primordial kita melampaui hubungan antara subjek dan
objek.[60]
Gadamer
merumuskan hermeneutika filosofisnya dengan bertolak pada empat kunci
heremeneutis: Pertama, kesadaran terhadap “situasi hermeneutik”. Pembaca
perlu menyadari bahwa situasi ini membatasi kemampuan melihat seseorang dalam
membaca teks. Kedua, situasi hermeneutika ini kemudian membentuk
“pra-pemahaman” pada diri pembaca yang tentu mempengaruhi pembaca dalam
mendialogkan teks dengan konteks. Kendati ini merupakan syarat dalam membaca
teks, menurut Gadamer, pembaca harus selalu merevisinya agar pembacaannya
terhindar dari kesalahan. Ketiga, setelah itu pembaca harus
menggabungkan antara dua horizon, horizon pembaca dan horizon teks. Keduanya
harus dikomunikasikan agar ketegangan antara dua horizon yang mungkin berbeda
bisa diatasi. Pembaca harus terbuka pada horizon teks dan membiarkan teks
memasuki horizon pembaca. Sebab, teks dengan horizonnya pasti mempunyai sesuatu
yang akan dikatakan pada pembaca. Interaksi antara dua horizon inilah yang oleh
Gadamer disebut “lingkaran hermeneutik”. Keempat, langkah selanjutnya
adalah menerapkan “makna yang berarti” dari teks, bukan makna obyektif teks.
Bertolak pada asumsi bahwa manusia tidak bisa lepas dari tradisi dimana dia
hidup, maka setiap pembaca menurutnya tentu tidak bisa menghilangkan tradisinya
begitu saja ketika hendak membaca sebuah teks.[61]
- 5. Jurgen Habermas (1929-
)
Habermas
sebagai penggagas hermeneutika kritis menempatkan sesuatu yang berada di luar
teks sebagai problem hermeneutiknya. Sesuatu yang dimaksud adalah dimensi
ideologis penafsir dan teks, sehingga dia mengandaikan teks bukan sebagai
medium pemahaman, melainkan sebagai medium dominasi dan kekuasaan. Di dalam
teks tersimpan kepentingan pengguna teks. Karena itu, selain horizon penafsir,
teks harus ditempatkan dalam ranah yang harus dicurigai.[62]
Menurut Habermas, teks bukanlah media netral, melainkan media dominasi. Karena
itu, ia harus selalu dicurigai.
Bagi
Habermas pemahaman didahului oleh kepentingan. Yang menentukan horizon
pemahaman adalah kepentingan sosial (social interest) yang melibatkan
kepentingan kekuasaan (power interest) sang interpereter.[63]
- 6. Paul Richour (1913-2005)
Paul
Richour mendefinisikan hermeneutika yang mengacu balik pada fokus eksegesis
tekstual sebagai elemen distingtif dan sentral dalam hermeneutika. Hermeneutika
adalah proses penguraian yang beranjak dari isi dan makna yang nampak ke arah
makna terpendam dan tersembunyi. Objek interpretasi, yaitu teks dalam
pengertian yang luas, bisa berupa simbol dalam mimpi atau bahkan mitos-mitos
dari simbol dalam masyarakat atau sastra. Hermeneutika harus terkait dengan
teks simbolik yang memiliki multi makna (multiple meaning); ia dapat membentuk
kesatuan semantik yang memiliki makna permukaan yang betul-betul koheren dan
sekaligus mempunyai signifikansi lebih dalam. Hermeneutika adalah sistem di
mana signifikansi mendalam diketahui di bawah kandungan yang nampak.[64]
Konsep
yang utama dalam pandangan Ricoeur adalah bahwa begitu makna obyektif
diekspresikan dari niat subyektif sang pengarang, maka berbagai interpretasi
yang dapat diterima menjadi mungkin. Makna tidak diambil hanya menurut
pandangan hidup (worldview) pengarang, tapi juga menurut pengertian
pandangan hidup pembacanya.[65]
Sederhananya, hermeneutika adalah ilmu penafsiran teks atau teori tafsir.
- 7. Muhammed Arkoun
Setelah
membahas pemikiran tokoh-tokoh di atas, ada baiknya untuk membahas pemikiran
Muhammed Arkoun yang telah mengadopsi teori-teori hermeneutika ketika
menafsirkan Alquran.
Adalah
Muhammed Arkoun, pemikir reformatif-dekonstruktif sekaligus intelektual wilayah
‘tak terpikirkan’ (al-la mufakkar fih/L’impensê/unthikable) yang lahir pada 1
Februari 1928 di Tourirt-Mimoun, Kabilia, Aljazair. Sejak tahun 1961 Arkoun
diangkat menjadi dosen di Universitas Sorbone Paris. Corak konstruksi pemikiran
epistemik Arkoun sangat terlihat dipengaruhi oleh post-strukturalis Perancis.
Metode historisisme yang dijadikan pisau bedah analisis Arkoun adalah formulasi
ilmu-ilmu sosial Barat modern hasil ciptaan para pemikir post-strukturalis
Perancis.[66]
Kritik
epistemik nalar Islam dan analisis dekonstruktif merupakan harga mati bagi
Akoun guna mencapai kebangkitan kembali peradaban Islam yang sampai kini masih
terkapar dalam hegemoni ortodoksi dan dogmatisme. Kerja ilmiah ini digarap oleh
Arkoun dengan cara mengkritik secara dekonstruktif terhadap mekanisme-mekanisme
berpikir konvensional yang telah memproduk sistem-sistem teologis dan
keyakinan-keyakinan yang amat varian dan, sebagai langkah kedua, kemudian
merekonstruksi pondasi-pondasi epistemiknya.[67]
Muhammed
Arkoun berpendapat bahwa Mushaf Utsmani tidak lain hanyalah hasil sosial dan
budaya masyarakat yang dijadikan “tak terfikirkan” disebabkan semata-mata
kekuatan dan pemaksaan penguasa resmi. Ia mengusulkan supaya membudayakan
pemikiran liberal (free thinking). Ia mencapai pemikiran liberal dengan
dekonstruksi. Baginya, dekonstruksi adalah sebuah ijtihad yang akan memperkaya
sejarah pemikiran dan memberikan sebuah pemahaman yang lebih baik tentang
Alquran. Jika masalah-masalah yang selama ini ditabukan dan dilarang dan semua
itu diklaim sebagai sebuah kebenaran, jika didekonstruksi, maka semua diskursus
tadi akan menjadi diskursus terbuka.[68]
Menurutnya
pendekatan historitas, meskipun berasal dari Barat, tidak hanya sesuai untuk
warisan budaya Barat saja.Tetapi pendekatan tersebut dapat diterapkan pada
semua sejarah umat manusia dan bahkan tidak ada jalan lain dalam menafsirkan
wahyu kecuali menghubungkannya dengan konteks historis, yang akan menantang
segala bentuk pensaklaran dan penafsiran transenden yang dibuat teolog
tradisional.[69] Arkoun
dalam mengkaji studi ke-Islaman menaruh perhatian yang sangat tinggi pada teori
Hermeneutika.
BAB
III
KESIMPULAN
- Mediasi dan proses membawa
pesan “agar dipahami” yang diasosikan dengan Dewa Hermes terkandung di
dalam tiga bentuk makna dasar dari hermēneuien dan hermēneia
dalam penggunaan aslinya. Tiga bentuk ini menggunakan bentuk kata kerja
dari hermēneuein, yaitu: to say, to explain, dan to
translate atau to interpret.
- Setidaknya ada enam definisi
tentang hermeneuitika modern yang juga menandai sejarah perkembangan
hermeneutika itu sendiri.
- Hermeneutika sebagai teori
eksegesis Bibel.
- Hermeneutika sebagai metode
filologis.
- Hermeneutika sebagai ilmu
pemahaman linguistik. Schleiemecher menandai lahirnya hermeneutika yang
bukan lagi terbatas kepada idiom filologi maupun eksegesis Bibel,
melainkan prinsip-prinsipnya bisa digunakan sebagai fundasi bagi semua
ragam interpretasi teks (Hermeneutika Umum).
- Hermeneutika sebagai fundasi
metodologi geisteswissenschaften. Wilhelm Dilthey menjadi figur
utama pada perkembangan herneutika tahap ini. Ia melihat bahwa
hermeneutika adalah inti disiplin yang dapat berlaku bagi geisteswissenschaften,
yakni semua pemahaman yang mefokuskan pada seni, aksi, dan tulisan
manusia.
- Hermeneutika sebagai
fenomenologi Dasein dan pemahaman eksistensial. Pada titik inilah
hermeneutika memasuki wilayah ontologis. Hermeneutika menjadi instrumen
pengejawantahan Sang Ada (Being). Melalui Dasein yang
menginterpretasi, segala Yang Ada mewujudkan diri. Konsepsi Heidegger ini
pada akhirnya dilanjutkan oleh Gadamer yang menitik beratkan pada
linguistik.
- Hermeneutika sebagai sistem
interpretasi: menemukan makna versus ikonaklasme. Titik balik
kreatif dilakukan oleh Paul Ricour yang mendefinisikan hermeneutika
dengan mengacu kembali pada fokus eksegesis tekstual sebagai elemen
distinktif dan sentral dalam hermeneutika.
- Muhammed Arkoun mengadopsi
teori hermeneutika dalam tafsir Alquran, dengan melakukan kritik secara
dekonstruktif lalu melakukan rekonstruksi.
DAFTAR
PUSTAKA
Armas,
Adnin. Dampak Hermeneutika Schleiermacher dan Dilthey terhadap Studi
Al-Qurán. Jurnal Islamia, Vol. III, No. 3, 2008.
__________,Filsafat
Hermeneutika Menggugat Metode Tafsir al-Qurán,
dalam Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran, IKPM cabang Kairo.
Audifax,HermeneutikadanSemiotika,www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif.
Bertens,
K. Panorama Filsafat Modern. Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju, 2005.
E. Palmer,
Richard. Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan
judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi. Cet. II;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005.
Hidayat,
Komaruddin. Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik. Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996.
Http://irwanmasduqi83.blogspot.com/2007/10/peta-kritik-nalar-islam-arkoun-dari.html.
Salahuddin,
Henry. Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran,
dalam Blog pada WordPress.com.
Zarkasyi,
Hamid Fahmy. Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup. Dalam Kumpulan
Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo, 2006.
[1]K.
Bertens, Panorama Filsafat Modern (Cet. I; Jakarta: Penerbit Teraju,
2005), h. 167-168.
[2]Komaruddin
Hidayat, Memahami Bahasa Agama; Sebuah Kajian Hermeneutik (Cet. I;
Jakarta: Paramadina, 1996), h, 28.
[3]Richard E.
Palmer, Hermeneutics Interpretation Theory in Schleirmacher, Dilthey,
Heidegger, and Gadamer diterjemahkan oleh Masnuri Hery dan Damanhuri dengan
judul Hermeneutika; Teori Baru Mengenai Interpretasi (Cet. II;
Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005), h. 3.
[5]Konsep
“teks” di sini tak terbatas pada sesuatu yang tertulis, tapi meliputi pula
ujaran, penampilan, karya seni, dan bahkan peristiwa. Di sini sebenarnya bisa
pula dikatakan interpretasi “teks sosial”. Bahkan simbol-simbol pun, sebenarnya
merupakan teks. Termasuk simbol-simbol dalam mimpi seseorang. Lihat Audifax,
Hermeneutika dan Semiotika, www.groups.yahoo.com/group/psikologi_transformatif.
[6]Henry
Salahuddin, Studi Analitis Kritis Terhadap Filsafat Hermeneutik Alquran,
dalam Blog pada WordPress.com.
[8]Hamid
Fahmy Zarkasyi, Hermeneutika Sebagai Produk Pandangan Hidup, dalam
Kumpulan Makalah Workshop Pemikiran Islam Kontemporer, IKPM cabang Kairo,
2006), h. 1.
[10]Http://khidr.org/gunawardhana.htm.
[11]Llihat
Komaruddin Hidayat, op. cit., h. 125-126.
[12]Keraguan
ini adakalanya juga muncul ketika dihadapkan pada berbagai dokumen yang saling
berbeda penjelasannya mengenai hal yang sama sehingga pembaca harus bekerja
melakukan kajian untuk menemukan sumber-sumber yang otentik serta pesan yang
jelas. Lihat Ibid., h. 126-127.
[13]Richard E.
Palmer, op.cit., h. 14.
[15]Richard E.
Palmer, op.cit., h. 15.
No comments:
Post a Comment